JAKARTA, KOMPAS.TV – Perubahan skema nilai manfaat dan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) menjadi alasan Kementerian Agama (Kemenag) mengusulkan peningkatan biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) tahun ini.
Penjelasan itu disampaikan oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag Hilman Latief di Jakarta, Sabtu (20/1/2023).
Menurutnya, kenaikan Bipih terjadi karena perubahan skema persentase komponen Bipih dan nilai manfaat.
Pemerintah mengajukan skema yang lebih berkeadilan dengan komposisi 70 persen Bipih dan 30 persen nilai manfaat.
Baca Juga: Kemenag: Usulan BPIH 2023 Sudah Perhitungkan Penurunan Paket Layanan Haji dari Pemerintah Arab Saudi
Hilman menjelaskan, sejak tahun 2010 hingga 2022, pemanfaatan dana nilai manfaat terus meningkat.
Pada 2010, nilai manfaat dari hasil pengelolaan dana setoran awal yang diberikan kepada jemaah hanya Rp4,45 juta.
Dengan Bipih yang harus dibayar jemaah saat itu sebesar Rp30,05 juta, komposisi nilai manfaat hanya 13 persen, sementara Bipih 87 persen.
Selanjutnya, kata dia, setiap tahun, komposisi nilai manfaat terus bertambah, yakni menjadi 19 persen (2011 dan 2012), 25 persen (2013), 32 persen (2014), 39 persen (2015), 42 persen (2016), 44 persen (2017), dan 49 persen (2018 dan 2019).
Hilman mengatakan, pada tahun 2022, Arab Saudi menaikkan layanan biaya Masyair secara signifikan jelang dimulainya operasional haji (jemaah sudah melakukan pelunasan), sehingga penggunaan dan nilai manfaat naik hingga 59 persen.
"Kondisi ini sudah tidak normal dan harus disikapi dengan bijak," jelasnya, dikutip dari keterangan tertulis Kemenag.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.