JAKARTA, KOMPAS.TV - DPR RI telah mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP menjadi undang-undang.
Keputusan itu diambil dalam rapat paripurna ke-11 masa persidangan II tahun sidang 2022-2023, Selasa (6/12/2022).
Namun sejumlah kalangan menilai banyak pasal yang dianggap kontroversi. Semisal mengenai relasi negara dengan warganya, hukum yang hidup di masyarakat, minuman memabukkan, hingga hukuman untuk koruptor.
Baca Juga: Sandiaga Uno Jamin Privasi Wisatawan Asing Terjaga Meski Ada KUHP
Berikut serderet pasal kontroversi KUHP baru.
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Bivitri Susanti menilai living law atau hukum yang hidup di masyarakat memiliki interpretasi begitu luas, sehingga sangat berpotensi munculnya ketidakpastian hukum.
Selain itu ada peluang penerapannya akan sangat tergantung pada penegak hukum dan penguasa. Ia mencontohkan hasil riset yang dilakukan Komnas Perempuan ada lebih dari 400 peraturan daerah sangat diskriminatif terhadap perempuan.
Menurut Bivitri Pasal 2 RKUHP ini dapat mendorong perda yang diskriminatif.
Baca Juga: Wakil Ketua MPR Minta Asing Tak Intervensi soal KUHP Indonesia
"Apakah pemerintah pusat bisa melakukan kontrol terhadap perda seperti itu. Kita punya angan-angan penarapan RKUHP begitu sederhana, tapi pelaksanaannya dan implementasinya nanti bukan para ahli yang merumuskan RKUHP," ujar Bivitri di program Sapa Indonesia Malam KOMPAS TV, Selasa (6/12/2022).
Ayat (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.
Ayat (2) Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.
Ayat (3) Ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Baca Juga: Komnas HAM akan Kawal Penerapan KUHP yang Berpotensi Batasi Kebebasan Masyarakat Gunakan Hak
Ada sejumlah pasal yang dianggap telah melampaui kuasa negara terhadap warga negara. Semisal Pasal 218 dan Pasal 219 tentang penghinaan presiden/wakil presiden. Pasal 240 dan 241 tentang penghinaan lembaga negara dan Pasal 256 tentang pendapat di muka umum.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari menilai ketimpangan status hukum terkait proses aduan dalam aturan menyerang kehormatan atau harkat martabat presiden dan wakil presiden dalam KUHP baru.
Feri menjelaskan untuk delik aduan yang melibatkan masyarakat banyak, seseorang harus datang melaporkan langsung. Namun untuk penyelenggara negara bisa melalui surat.
Baca Juga: Pakar Hukum Tata Negara Nilai Ada 18 Pasal di RKUHP Harus Diluruskan, Ini Tiga di Antaranya
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.