JAKARTA, KOMPAS.TV - Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej memastikan tidak ada delik pers dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan.
Menurut Edward, kasus yang menyangkut pers atau akan diselesaikan dengan undang-undang tentang pers.
“Jadi, sebetulnya dengan adanya Undang-Undang Pers itu sudah tidak ada lagi delik pers,” jelasnya dalam Satu Meja The Forum, Kompas TV, Rabu (7/12/2022), menanggapi sorotan tentang penyebaran delik berita bohong dalam KUHP.
“Kita periksa putusan dalam kasus Bambang Harimurti, kita periksa dalam kasus putusan Mahkamah Agung soal Teguh Santoso, kita periksa dalam putusan Mahkamah Agung soal kasus Supratman.”
Menurutnya Undang-Undang Pers sudah digunakan dalam yurisprudensi atau putusan hukum pengadilan dalam menangani perkara yang berhubungan dengan pers.
Baca Juga: Dewan Pers Sayangkan Pengesahan UU KUHP: Ancam Kemerdekaan Pers dan Demokrasi
“Itu sudah dijadikan yurisprudensi tetap, bahwa ketika berhubungan dengan pers, maka gunakanlah jalan pers, hak jawab dan lain sebagainya.”
“Jadi sebetulnya tidak perlu ada kekhawatiran,” tuturnya.
Edward juga menjelaskan tentang pasal penyerangan harkat dan martabat presiden. Menurutnya, kritik terhadap negara merupakan bentuk kontrol sosial.
Kritik tersebut, lanjut Edward, berwujud aksi unjuk rasa, dan unjuk rasa tidak dapat dikenakan pidana.
“Kalau kritik yang diwujudkan dalam unjuk rasa, itu tidak dapat dipidana, itu jelas.”
Mengenai unjuk rasa tanpa izin yang mengakibatkan keonaran dapat dipidana, Edward mengatakan, tidak mudah menerapkan pasal itu.
“Soal unjuk rasa. Kita ini diajarkan kalau membaca pasal harus membaca judul bab. Judul bab itu adalah ketertiban umum.”
Baca Juga: Pakar Hukum Nilai Pasal 2 RKUHP soal Living Law Berpotensi Munculkan Perda Diskriminatif
“Jadi tidak mudah juga menerapkan pasal ini. Mengapa? Kalau dia memberi tahu, terjadi keonaran, tidak bisa dijerat. Kalau dia tidak memberi tahu, tidak terjadi keonaran, juga tidak bisa dijerat,” urainya.
Yang dapat dipidana, lanjut Edward, adalah unjuk rasa tanpa izin yang mengakibatkan keonaran atau mengganggu kepentingan umum.
“Jadi bunyinya keonaran atau mengganggu kepentingan umum. Kepentingan umum adalah tidak berfungsinya layanan publik akibat kerusakan yang timbul karena unjuk rasa, pawai atau demokrasi.”
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.