JAKARTA, KOMPAS.TV - Saat terjadi bencana gempa maupun tsunami, setiap detik amat berharga. Waktu singkat itulah yang disebut sebagai golden time.
"Golden time merupakan rentang waktu singkat antara peringatan dini dan saat bencana mencapai wilayah berisiko," terang peneliti Syarifah Aini Dalimunthe, via laman resmi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Kendati sudah ada sistem peringatan dini, golden time amat penting diperhatikan.
Kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bersama Badan PBB untuk Pengurangan Risiko Bencana (UNDRR), Komisi Oseanografi Antarpemerintah (UNESCO-IOC), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) ihwal gempa dan tsunami Donggala 2018 menunjukkan, banyak korban berjatuhan akibat kehilangan golden time.
"Korban kehilangan golden time karena menunggu informasi peringatan dini yang gagal sampai ke tingkat individu, akibat jaringan seluler yang terputus dan sirene yang tidak berfungsi," kata Syarifah.
"Masyarakat perlu diyakinkan, bahwa ketika merasakan guncangan gempa, harus langsung menyelamatkan diri, terutama bagi komunitas yang tinggal di pesisir," imbuh dia.
Menukil keterangan dari Masterplan Pengurangan Risiko Bencana Tsunami BNPB, dijelaskan bahwa golden time saat bencana gempa dan tsunami bervariasi, mulai 10 hingga 30 menit.
Dalam rentang waktu tersebut, masyarakat harus langsung mengevakuasi diri sembari menunggu informasi.
Syarifah menjelaskan, dari hasil studi ditemukan pula banyak korban akibat tak langsung menyelamatkan diri dari guncangan gempa pertama.
"Beberapa narasumber, bahkan memutuskan kembali ke dalam rumah untuk menyelamatkan anggota keluarga atau menyelamatkan barang berharga," terang Syarifah.
Baca Juga: Gempa Guncang Cianjur, BNPB Imbau Warga Bikin Alat Peringatan Sederhana dari Kaleng Bekas
Syarifah menjelaskan, setidaknya terdapat 15 lempeng utama dunia yang aktif mengalami subduksi atau pergeseran. Bagian paling aktif terletak pada perbatasan antar-lempeng, umumnya disebut sebagai cincin api alias ring of fire.
"Sembilan puluh persen gempa di dunia terjadi pada wilayah ini, dan delapan puluh persen gempa besar tepat berada di atas cincin api," ujar dia.
Adapun Indonesia terletak di kawasan ring of fire, sehingga jelas menjadi negara langganan gempa.
Terkait dengan risiko, riset Bank Dunia pada 2019 menunjukkan rerata laju pertumbuhan perkotaan di Indonesia mencapai 5,1 persen per tahun.
"Pada tahun 2025 sekitar 68 persen penduduk (Indonesia-red) akan tinggal di kota," terang Syarifah.
Kota-kota tersebut berada di atas cincin api serta wilayah pesisir. Oleh sebab itu, ia menyimpulkan konsentrasi penduduk di masa depan meningkatkan angka penduduk berisiko atau population at risk.
Baca Juga: Rekomendasi Aplikasi Deteksi Gempa untuk Android dan IOS
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.