“Tetapi ini tidak menjamin, bahwa yang dilakukan oleh lie detector itu tidak 100 persen benar, akurasinya 60 sampai 70 persen.”
Ia menegaskan, akurasi yang tidak tepat bukan hanya dapat terjadi pada residivis saja, tetapi pada orang lain yang memang pembawaannya sangat tenang.
“Sangat gugup juga bukan berarti dia bohong, tapi dia nervous, stres, lelah, itu bisa memengaruhi bahwa seolah-olah dia bohong. Padahal yang disampaikan adalah benar.”
“Sehingga di negara-negara maju juga lie detector ini juga tidak terlalu dijadikan alat untuk mengecek apakah orang itu menyampaikan keterangan secara benar atau tidak?” lanjutnya.
Dalam dialog itu, Ito juga menjelaskan, jika mengacu pada Pasal 184 ayat 1 KUHAP, alat bukti yang sah dalam perkara adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Sedangkan hasil dari pemeriksaan menggunakan alat pendeteksi kebohongan biasanya tidak bisa dijadikan alat bukti.
“Hasil dari lie detector biasanya tidak diakui sebagai alat bukti,” kata dia.
“Kecuali apabila hasil lie detector itu dibacakan oleh ahlinya, seorang psikolog di depan pengadilan, ini bisa dijadikan alat bukti.”
Ito menyebut, orang berhak untuk menolak pemeriksaan menggunakan alat pendeteksi kebohongan. Sebab itu diatur dalam undang-undang.
Baca Juga: Mantan Hakim Agung dan Eks Kabareskrim Sebut Tersangka Boleh Tolak Penggunaan Lie Detector
Namun, penggunaan lie detector juga ada dasar hukumnya, yakni Sprin Kapolri.
“Jadi, saya kira penggunaannya juga ada dasar hukumnya. Digunakan di pengadilan juga bisa menjadi alat bukti kalau hasil analisanya dibacakan oleh ahlinya.”
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.