JAKARTA, KOMPAS TV - Partai Demokrat mempersilakan seluruh kadernya untuk ikut melakukan aksi demonstrasi menolak kenaikan harga BBM bersubsidi.
Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat Kamhar Lakumani mengatakan, seluruh kader dibebaskan untuk ikut serta bersama rakyat melakukan unjuk rasa menolak kenaikan harga BBM.
Baca Juga: Tuntut Penolakan Kenaikan BBM Mahasiswa Demo DPRD Kota Sorong
Bahkan, kata Kamhar, bila perlu mengajak keluarga TNI, keluarga Polri, keluarga PNS/ASN dan partai-partai lain untuk ikut turun ke jalan dalam aksi damai.
"Kader tak perlu menangis dalam menyampaikan argumentasi penolakan kenaikan BBM ini sebagaimana aksi sandiwara elite-elite partai PDIP pada saat merespon kenaikan BBM di masa pemerintahan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono, red) yang lalu," kata Kamhar kepada Kompas TV, Selasa (6/9/2022).
Menanggapi argumentasi beban APBN yang terlalu berat, ia menilai sebenarnya masih banyak jalan yang bisa ditempuh selain menaikkan harga BBM jika memang benar-benar pro rakyat.
"Bisa melalui relokasi penggunaan anggaran untuk meninjau ulang IKN (ibu kota negara) dan infrastruktur yang tak prioritas, termasuk juga dengan jalan menekan tingkat kebocoran APBN," ujar Kamhar.
Menurut dia, pemerintah mengambil jalan pintas dan jalan mudah untuk memenuhi segala ambisinya dengan memberikan beban kepada rakyat.
"Menaikkan harga BBM untuk menekan beban APBN ini langkah paling instan dan paling mudah, tapi sekaligus juga menunjukkan pemerintah tak kreatif, tak punya hati," ujarnya.
Baca Juga: PKS Tolak Harga Baru BBM: Kenaikan BBM Ini Terlalu Banyak Alasan untuk Ditolak
Sebelumnya, Ketua DPP PDIP Said Abdullah menjelaskan alasan Ketua DPR RI Puan Maharani tak lagi menangis saat pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi seperti Pertalite dan Solar.
Ia berdalih kondisi geopolitik pada saat ini dan era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berbeda.
"Kondisinya kan berbeda, kondisi hari ini dunia, kita sadar nggak sih kalau ini persoalan geopolitik," kata Said di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (6/9/2022).
Menurut dia, sejumlah kondisi yang berbeda tersebut antara lain penolakan Arab Saudi dan negara-negara eksportir minyak menambah alokasi minyak di pasaran, pandemi Covid-19 yang melanda dunia serta perang Ukraina-Rusia.
"Dulu apa sih problematiknya? Sekarang apa? Kan beda, pandemi, minyak hancur sehancur-hancurnya. Tingkat permintaan tinggi, tiba tiba ada perang. Padahal rantai pasok global belum sempurna, goyang semua negara," kata Said.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.