JAKARTA, KOMPAS TV - Anggota Bawaslu RI Herwyn JH Malonda menjelaskan sejumlah strategi pihaknya dalam mencegah penyebaran politik identitas dan isu ihwal suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA).
Menurut dia, maraknya politik identitas dengan isu SARA tersebut muncul akibat beberapa faktor, yaitu akibat belum tuntasnya toleransi, adanya ketimpangan sosial ekonomi, dan adanya rekayasa elite politik.
Baca Juga: Demokrat Tolak Usulan Surya Paloh Duetkan Anies-Ganjar: Itu Langgengkan Politik Identitas
Dia menyebutkan langkah antisipasi pertama yang dilakukan Bawaslu dengan menjalin kerja sama dengan platform media sosial dan kementerian dan lembaga negara terkait.
Kedua, lanjut dia, melakukan pendekatan ke kelompok atau komunitas hingga paling bawah guna mencegah adanya kampanye yang menggunakan isu SARA dan politik identitas.
"Salah satu alat ukur demokrasi berjalan dengan baik adalah terhindar dari penyelenggaran pemilu yang mengedepankan isu SARA dan politik identitas baik saat pemilu maupun pemilihan (pemilihan pemerintah daerah) tahun 2024," kata Herwyn seperti dikutip dari laman bawaslu.go.id, Kamis (21/7/2022).
Bentuk penindakan Bawaslu terkait kampanye bermuatan politik identitas, kata Herwyn dengan menurunkannya dari media sosial agar berita tersebut tidak tersebar.
"Kita akan melakukan kerja sama dengan platform seperti Facebook (Meta), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), dan lainnya untuk mengantisipasi dan mengatur kalau ada hal-hal (ptensi) yang merusak sendi-sendi persaudaraan di media sosial. Hal itu dilakukan agar informasi tersebut tidak menyebar," ujarnya.
Selain itu, Bawaslu juga akan bekerja sama dengan Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Mabes Polri terkait dengan penindakan berita hoaks, berita palsu, atau berita yang bisa menciderai persaudaraan antar masyarakat Indonesia.
Baca Juga: Yenny Wahid Ingatkan Elit Politik untuk Tak Gunakan Isu SARA di Pemilu 2024
Ia menambahkan, beberapa faktor munculnya isu SARA yakni media sosial, pemahaman yang belum tuntas soal bagaimana menjaga toleransi dan eksistensi setiap identitas. Lalu, masih ketimpangan sosial ekonomi, rekayasa elite politik, dan kecerobohan individu.
"Termasuk kecerobohan kita yang menyinggung psikologi di media sosial. Jika diperhatikan ada ucapan-ucapan dari kita yang teledor dan ceroboh, kemudian viral dan menjadi munculnya politik SARA," katanya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.