JAKARTA, KOMPAS.TV - Dewan Pakar Peradi, Usman Hamid, mengaku sepakat dengan usulan menonaktifkan Kadiv Propam Polri untuk memastikan obyektivitas proses hukum penembakan antaradua personel kepolisian.
Usman mengatakan, hal-hal yang disampaikan oleh keluarga Brigadir J cukup mengejutkan masyarakat, terutama dari sisi keterangan tentang kondisi tubuh almarhum, yang memperlihatkan bekas-bekas benturan alat tumpul atau senjata tajam.
Menurutnya, berdasarkan apa yang disampaikan, sudah sangat jelas dan memberikan kesan bahwa ada kemungkinan pelaku melakukan tindakan kekerasan terlebih dahulu kepada almarhum.
"Pelaku dalam arti yang mengakibatkan tewasnya Brigadir J," ucapnya dalam dialog Kompas Petang, Kompas TV, Selasa (12/7/2022).
Baca Juga: Keluarga Brigadir J Tak Terima, Sebut Melebihi Teroris hingga Minta Keadilan dan Transparan
"Saya setuju kepolisian harus membuka proses hukum atas kasus ini dan menjalankan investigsi yang efektif, transparan, dan memastikan bahwa apa-apa yang
dianggap janggal, mulai dari kronologis peristiwa, sampai dengan luka-luka."
Ia juga mengaku setuju jika ada semacam tim gabungan yang bertugas untuk memastikan bahwa proses hukum ini berjalan secara independen.
Sebab, lanjut dia, pelaku merupakan anggota polisi, demikian pula dengan korban, bahkan peristiwanya terjadi di rumah dinas pejabat kepolisian.
"Bahkan saya sependapat dengan usulan misalkan Kadiv Propam dinonaktifkan terlebih dahulu, agarproses hukum ini bisa berjalan secara imparsial, tidak berpihak dan
obyektif."
"Dinonaktifkan untuk memastikan obyektivitas proses hukum tidak terpengaruh," tegasnya.
Menanggapi hal itu, Hermawan Sulistyo, Kepala Puskamnas Universitas Bhayangkara, mengimbau agar publik tidak berspekulasi terkait kasus ini.
Sebab, hal-hal yang dilihat oleh keluarga Brigadir J di tubuh almarhum bukan merupakan hasil forensik.
"Itu kan dari pengelihatan, perabaan dari keluarga. Hasil otopsi kan belum tentu seperti itu."
"Jadi kita tunggu dululah, jangan berkesimpulan ini, lalu motifnya ini," imbuhnya.
Ia juga mencontohkan jika terjadi kasus perkelahian atau penyiksaan yang kemudian terdapat luka tembak di tubuh korbannya.
Menurut analisisnya, jika ada luka tembak di tubuh korban yang diawali dengan perkelahian, maka akan terdapat jelaga di sekitar luka tembak, karena dipastikan penembakan dilakukan dari jarak dekat.
"Kalau setelah berantem ada luka tembak, berarti nembaknya dalam jarak pendek. Kalau dalam jarak pendek, hasil forensiknya harus ada jelasa yang menempel di dada korban."
Pertanyaan berikutnya, lanjut Hermawan, adalah siapa yang sebetulnya menjadi korban pada peristiwa itu, dan siapa yang bukan korban.
"Kenapa? Saya melihat ini terjadi pesimisasi. Korban yang dalam hal ini meninggal, itu diisukan macem-macem, dikapitalisasi, disalahkan, jadi menjadi korban dua kali."
Baca Juga: Nomor WA dan Media Sosial Tiga Anggota Keluarga Brigadir J Diretas, Ini Kata Ayah Korban
"Nah, yang melakukan, mungkin saja dia korban, terus disalahkan dan segala macam, padahal belum ada proses yang jelas," ucapnya.
Si pelaku, lanjut dia, bisa jadi dalam situasi seperti yang disampaikan polisi, yakni membela diri.
"Kita belum tahu nih, karena belum ada rekonstruksi, belum ada penjelasan forensik. Lalu disalahkan dia, itu korban dua kali."
Menurutnya, keempat pihak yang terlibat, semua mengalami proses pesimisasi, yakni sebagai korban, disalahkan, dikorbankan lagi.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.