JAKARTA, KOMPAS.TV — Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menilai 14 pasal dalam draf Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) akan mengancam kebebasan pers.
Menurut Ketua AJI Indonesia Sasmito Madrim, melalui pasal-pasal tersebut pekerjaan jurnalis menjadi berisiko untuk dipidanakan.
"Pasal-pasal itu membuat pekerjaan jurnalis berisiko tinggi karena terlihat dengan mudah untuk dipidanakan," kata Sasmito dalam keterangan tertulis yang diterima KOMPAS.TV, Jumat (24/6/2022).
Lebih lanjut, Sasmito menyebut 14 pasal yang mengancam kebebasan pers, antara lain Penyerangan Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden: Pasal 218 dan Pasal 220; Tindak Pidana Terhadap Ketertiban Umum Bagian Penghinaan terhadap Pemerintah: Pasal 240 dan Pasal 241; Tindak Pidana Terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara: Pasal 353 dan Pasal 354.
Baca Juga: Draf RKUHP Terbaru Belum Diserahkan ke DPR RI, Wamenkumham: Masih Banyak Typo
Kemudian Tindak Pidana Penghinaan: Pasal 439; Penodaan Agama: Pasal 304; Tindak Pidana terhadap Informatika dan Elektronika: Pasal 336; Penyiaran Berita Bohong: Pasal 262, Pasal 263, dan Pasal 512; Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan: Pasal 281; Pencemaran Orang Mati: Pasal 445.
"Pasal-pasal di atas mengatur tindakan-tindakan yang merupakan karakter dari pekerjaan jurnalis, yaitu 'menginformasikan kepada khalayak luas'. Pasal ini akan dengan mudah dipakai oleh orang yang tidak suka kepada jurnalis untuk memprosesnya secara hukum, dengan dalih yang mungkin tidak kuat dan gampang dicari," lanjut Sasmito.
Permintan ini jug dilakukan karena AJI tidak ingin pasal-pasal penghinaan terhadap presiden terulang kembali pada masa mendatang.
"Sebagai contoh, pada 2003, Redaktur Eksekutif Harian Rakyat Merdeka Supratman divonis enam bulan penjara dengan masa percobaan 12 bulan dalam kasus pencemaran nama baik Presiden Megawati Soekarnoputri," ujarnya.
Tak hanya meminta 14 pasal untuk dihapus, AJI juga menilai pembahasan draf RKUHP tersebut tidak transparan lantaran publik belum mendapatkan draf RKUHP terbaru.
Oleh sebab itu, AJI mendesak pemerintah untuk segera membuka draf terbaru ke publik, karena bagi Sasmito pelibatan publik merupakan kewajiban yang harus dilakukan DPR dan pemerintah dalam setiap pembuatan regulasi.
"Undang-undang ini akan berdampak kepada semua warga negara, termasuk jurnalis karena itu sudah sepatutnya DPR dan pemerintah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada publik untuk membaca dan mengkritisi pasal-pasal dalam RUU KUHP," ungkapnya.
Sementara itu, diberitakan sebelumnya pemerintah berkomitmen untuk mempercepat proses revisi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej (Eddy Hiariej) menjelaskan, saat ini tim pemerintah masih membaca ulang dan menyelesaikan sejumlah masukan elemen masyarakat dalam draf RUU KUHP.
Selain itu, pemerintah juga memeriksa kembali kesalahan penulisan, rujukan, hingga sinkronisasi antara batang tubuh dan penjelasan.
Langkah ini untuk mencegah pengalaman yang terjadi di UU Cipta Kerja berulang di RUU KUHP.
"Kalau pertanyaannya apakah kita harus segera mengesahkan KUHP, jawaban saya iya," ujar Eddy dalam dialog virtual Konsinyering RUU KUHP yang disiarkan di YouTube Pusdatin Kumham, Kamis (23/6).
Baca Juga: Pemerintah Berharap RUU KUHP Bisa Segera Disahkan, Ini Urgensinya
Kendati demikian, pihaknya tidak yakin DPR dapat mengesahkan RKUHP sebelum masa reses pada 7 Juli 2022 mendatang.
Meskipun, kata Eddy, dalm rapat dengar pendapat (RDP) pada 25 Mei lalu, pemerintah dan DPR sepakat RUU KUHP dapat disahkan di bulan Juli, sebelum memasuki masa reses.
"Kita tahu bulan Juli ini tinggal beberapa hari lagi, di sisi lain DPR akan reses pada tanggal 7 Juli dan masuk pada 16 Agustus pembukaan sidang keenam sekaligus pidato kenegaraan presiden biasanya, sehingga kita bisa berhitung," pungkasnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.