JAKARTA, KOMPAS.TV - Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah masa jabatan hakim konstitusi dari lima tahun menjadi 15 tahun atau berumur 70 tahun rawan konflik kepentingan, Rabu (22/6/2022).
Ia menjelaskan, putusan tersebut menimbulkan pertanyaan terkait kenegarawanan hakim konstitusi.
"Yang perlu dipertanyakan yaitu kenegarawanan dari sembilan hakim MK untuk bisa memahami bahwa perkara ini sesungguhnya punya konflik kepentingan yang luar biasa," kata Bivitri dalam Sapa Indonesia Malam KOMPAS TV, Rabu (22/6/2022).
Ia beralasan, konflik kepentingan tersebut disebabkan karena hakim konstitusi menguji dan memutuskan pengujian atas Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK yang mengatur mengenai mereka sendiri, sehingga mereka menjadi pihak yang diuntungkan dari putusan tersebut.
Sebab, masa jabatan beberapa hakim konstitusi semestinya berakhir dalam waktu dekat tetapi berubah menjadi lebih lama setelah putusan itu diambil.
MK memberlakukan Pasal 87 huruf b UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK yang menyatakan bahwa hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat UU ini diundangkan, dianggap memenuhi syarat menurut UU tersebut, dan mengakhiri masa tugasnya tidak lebih dari 15 tahun.
Terkait perubahan masa jabatan hakim konstitusi yang mulanya lima tahun dan sekarang menjadi 15 tahun tersebut.
Bivitri menilai hal itu menyebabkan masa jabatan hakim konstitusi menjadi lebih lama, sehingga memberikan kenyamanan terus-menerus.
"Lanjut terus kan, sampai usia 70 tahun atau pun 15 tahun (masa jabatan -red), jadi dengan itu otomatis ada beberapa yang langsung terkena UU ini dan mereka menguji sendiri UU ini, kemudian jadinya menikmati jabatan yang terlalu lama, nah ini yang sebenarnya dikritik," jelas Bivitri.
Baca Juga: MK Kabulkan Sebagian Gugatan, Anwar Usman Harus Mundur dari Kursi Ketua
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.