JAKARTA, KOMPAS.TV - Wacana standardisasi kelas pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menuai sorotan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
Ketua Harian YLKI, Tulus Abadi menyebut, konsep kebijakan yang dibuat oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) ini menimbulkan kegaduhan.
“Pertama, ini sebenarnya konsep kebijakan yang dibuat DJSN, yang menimbulkan kegaduhan karena belum dipersiapkan dengan baik,” jelasnya dalam dialog Sapa Indonesia Akhir Pekan di Kompas TV Sabtu (11/6/2022).
‘Kedua, saya melihat secara empirik ini tidak ada urgensinya bagi konsumen untuk diterapkan progam ini. Mungkin sekian tahun ke depan mungkin bisa diterapkan, tapi saat ini tidak ada urgensinya.”
Baca Juga: Program KRIS BPJS Kesehatan Diuji Coba Juli 2022, Berapa Besaran Iurannya?
Menurut Tulus, saat ini hal terpenting bagi konsumen adalah bagaimana layanan BPJS Kesehatan dengan mitra rumah sakitnya, faskes, dan sebagainya adalah pelayanan yang standar.
“Bukan kelas standard tetapi standardisasi pelayanan, di mana di situ tidak ada antrean, tidak disuruh beli obat lagi, tidak ada penambahan biaya, dan sebagainya."
Hal itu, ungkap Tulus, tidak harus dijawab dengan Kelas Rawat Inap (KRI), tetapi yang terpenting adalah standardisasi layanan di kelas I, kelas II, ataupun kelas III.
Ia bahkan mengaku khawatir jika nantinya kelas standar atau non-kelas ini benar-benar diterapkan, malah akan merugikan banyak pihak.
“Saya sangat khawatir kalau non-kelas ini diterapkan, adalah nanti di kelas I tidak ada, kemudian orang yang kelas I harus turun kelas, atau yang paling urgent adalah kelas III harus naik kelas.”
“Ini bukan hanya berpotensi merugikan konsumen, tetapi juga berpotensi merugikan BPJS Kesehatan sebagai operator maupun rumah sakit itu sendiri,” tegasnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.