JAKARTA, KOMPAS.TV - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyebut isu penundaan pemilu dan penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode merupakan tanda mundurnya demokrasi di Indonesia.
Direktur LBH Jakarta Arif Maulana menyatakan, wacana yang digencarkan oleh elite politik tersebut telah mencederai praktik negara hukum dan demokrasi di Indonesia.
"Penundaan pemilu, kami lihat sebagai satu simtom atau tanda bahaya bagi mundurnya demokrasi dan negara hukum Indonesia," kata Arif dalam Konferensi Pers Bersama Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Minggu (10/4/2022).
"Ini adalah tanda yang sangat mencolok, rusaknya praktik negara hukum dan demokrasi yang dilakukan oleh elite politik," sambungnya.
Baca Juga: Wantimpres Tegaskan Penundaan Pemilu hingga Presiden 3 Periode Tidak Dapat Diimplementasikan
Arif juga melihat adanya dugaan pergerakan yang disengaja oleh elite politik untuk melancarkan ambisi menunda pemilu, bahkan hingga ke lingkup paling bawah yakni pejabat tingkat desa.
Padahal, baik pejabat di tingkat pusat, provinsi, hingga desa sekalipun, suara penundaan pemilu itu harus betul-betul berasal dari rakyat.
"Saya pikir, kalau yang menyuarakan (penundaan pemilu) adalah rakyat kecil yang hari ini mengalami berbagai kesulitan, maka itu wajar," ujar Arif.
"Tapi, kalau yang kemudian bersuara adalah para menteri, ketua partai politik, kepala desa yang dugaannya digerakkan, maka ini menjadi tanda tanya besar," imbuhnya.
Baca Juga: Presiden Lantik Anggota KPU dan Bawaslu 12 April, Mahfud MD: Ini Bukti Pemerintah Fokus Pemilu 2024
Arif berani mengeluarkan pernyataan demikian, karena ia paham betul bahwa wacana penundaan pemilu itu sarat akan konflik kepentingan dan masyarakat pun pasti sudah menyadarinya.
"Tentu, mereka (elite politik) ingin melanggengkan kekuasaannya yang hari ini mereka dapatkan. Mereka ingin berkuasa kembali tanpa harus melewati mahkamah rakyat (pemilu, red)," jelas Arif.
Artinya, lanjut Arif, tindakan tersebut secara tidak langsung bakal menghilangkan hak rakyat untuk bersuara atau memilih sendiri pemimpinnya.
"(Termasuk) hak rakyat untuk mengevaluasi dan menghukum para elite politik yang tidak becus kerjanya," tegasnya.
Oleh karena itu, Arif kembali menegaskan bahwa semestinya tidak ada tempat di Tanah Air ini bagi mereka yang berani menggembor-gemborkan wacana penundaan pemilu.
"Karena ini sangat berbahaya. Konstitusi kita sudah tegas mengatur bahwa presiden dibatasi masa periodenya hanya dua kali," tutur Arif.
"Tujuanya tidak lain adalah agar kita tak terjebak lagi di masa otoritarian sebelum reformasi, baik saat orde lama maupun orde baru," tandasnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.