JAKARTA, KOMPAS. TV – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengecam putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru yang memvonis bebas dosen Universitas Riau yang menjadi terdakwa pelecehan seksual terhadap mahasiswi.
Menurut YLBHI vonis tersebut merupakan pengkhianatan terhadap korban-korban pelecehan seksual di lingkungan Pendidikan.
“Ini pukulan telak bagi kita semua. Apa yang diputuskan hakim adalah pengkhinatan terhadap korban dan juga korban-korban lainnya,” kata Pengacara YLBHI Meila Nurul Fajriah dalam konfrensi pers, Selasa (5/4/2022).
Baca Juga: Kemendikbud Ristek Tegaskan Kampus Harus Jadi Ruang Aman Tanpa Kekerasan Seksual
Dia mengkhawatirkan putusan di PN Pekanbaru tersebut dapat menjadi acuan ataupun pedoman bagi hakim-hakim lainnya dalam memutus kasus pelecehan dan kekerasan seksual terutama di lingkungan Pendidikan.
“Satu putusan bisa jadi bahan acuan hakim-hakim lainnya yang memutus kasus yang sama,” ujar Meilia.
Meilia pun menyesalkan karena hakim di PN Pekanbaru tersebut tidak mengindahkan Peraturan MA (Perma) Nomor 3 tahun 2017, Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Baca Juga: LBH Pekanbaru Kecewa dengan Vonis Bebas Majelis Hakim kepada Terdakwa Pelecehan Seksual Dekan UNRI
Padahal menurut Meilia, Perma 3/2022 itu sudah cukup progresif dan berperspektif gender dalam menangani kasus-kasus pelecehan seksual terhadap perempuan.
Apalagi dia melihat dalam putusan tersebut majelis hakim tampak tidak mengindahkan relasi kuasa antara terduga pelaku dan korban. Di mana terduga pelaku merupakan sosok yang berpengaruh karena memiliki jabatan struktural yang penting di universitas.
Dia menyesalkan hakim justru menganggap bukti dalam kasus ini tidak kuat. Padahal, kondisi psikologis korban yang dibuktikan oleh para ahli, bisa menjadi bukti yang cukup kuat.
Baca Juga: Ini Respons Kemdikbud atas Dekan Unri yang Dinyatakan Tak Terbukti Melakukan Pelecehan Seksual
Menyangkut bukti dari kondisi piskologis korban itu juga diatur dalam Perma 3 nomor 2017.
Dia berharap Mahkamah Agung dapat melihat kembali kasus ini dan memantau implementasi Perma nomor 3 tahun 2017.
“MA perlu turun langsung untuk melihat implementasi Perma nomor 3 (tahun 2017, apakah benar-benar dijadikan pedoman hakim dalam memutus perkara seperti ini,” tuturnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.