JAKARTA, KOMPAS.TV - Penundaan pemilihan umum (Pemilu) 2024 dinilai tidak sejalan dengan semangat konstitusi, bahkan merupakan pembangkangan terhadap konstitusi.
"Usulan penundaan pemilu merupakan constitution disobedience atau pembangkangan terhadap konstitusi,” ujar Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia Fahri Bachmid dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (27/2/2022).
Menurut Fahri, bahwa usulan penundaan Pemilu 2024 ini tentunya tidak terwadahi, serta tidak dikenal dalam rumusan norma konstitusi.
Oleh karena itu, dia berpendapat usulan tersebut menjadi tidak sejalan dengan konstitusi dan UU tentang Pemilu itu sendiri.
Baca Juga: Terkait Wacana Tunda Pemilu 2024, Yusril: Ada Konsekuensi Legitimasi yang Harus Dipertimbangkan
“Dengan demikian, usulan itu hanya dapat dipandang sebagai ius constituendum atau konsep hukum yang dicita-citakan, dan belum diakomodasi dalam konstitusi,” kata dia.
Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan sebagai konstitusi Indonesia, disebut Fahri, telah mengatur tentang siklus pelaksanaan Pemilu di Indonesia yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali.
Hal itu sebagai perwujudan hak asasi politik warga negara untuk memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR, DPD, dan DPRD, serta memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Baca Juga: AHY Sebut Usulan Penundaan Pemilu Tidak Logis dan Tak Sesuai dengan Konstitusi
Secara doktrinal, Indonesia sebagai negara demokrasi konstitusional, tentunya menempatkan konstitusi sebagai hukum dasar yang tertinggi.
Serta wajib untuk dilaksanakan, bukan untuk diperdebatkan yang pada akhirnya melahirkan sikap pembangkangan terhadap nilai serta norma konstitusi itu sendiri atau constitution disobedience.
“Pada hakikatnya UUD NRI Tahun 1945 harus dipedomani dan dilaksanakan oleh seluruh komponen masyarakat dan penyelenggara negara,” ujarnya.
Baca Juga: Sorotan Berita: Rusia Ancam Negara Tetangga hingga Sikap Partai Buruh Soal Penundaan Pemilu
“Serta pada sisi yang lain konstitusi harus ditempatkan sebagai rujukan dalam pencarian solusi atas persoalan kenegaraan dan kebangsaan yang timbul.”
Dengan demikian, menurut dia, berdasarkan desain konstitusional sistem pemilu dalam UUD 1945, maka tidak ada peluang serta jalan keluar untuk mengakomodasi wacana perpanjangan masa jabatan-jabatan publik, yang diisi berdasarkan hasil pemilu maupun mencari formula penundaan pemilu.
“Sebab, tidak adanya pranata konstitusional yang tersedia dan diciptakan untuk itu,” kata Fahri.
Baca Juga: Tidak Ada Negara di Dunia Ini yang Tunda Pemilu karena Pertumbuhan Ekonomi
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.