JAKARTA, KOMPAS.TV- Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej memastikan Rancangan Undang-undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) tidak akan tumpang tindih dengan Undang-Undang (UU) yang lain.
Sebab, saat perumusan RUU TPKS, Edward menuturkan pihaknya sudah menyandingkan dengan UU Perlindungan Anak, UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, dan RUU KUHP.
“UU TPKS tidak akan bertabrakan dengan UU lainnya. Ketika kita menyusun RUU TPKS ini, kita menyandingkan dengan berbagai aturan rancangan dan eksisting,” ujar pria yang akrab disapa Prof Eddy ini, Selasa (22/2/2022).
“Yang ada dalam rancangan RUU KUHP, UU perlindungan anak, kita disandingkan, tidak mungkin tumpang tidih, satu lagi UU HAM, kita menyandingkan 4 UU eksisting, ditambah 1 RUU yaitu RUU KUHP,” tambahnya seperti yang dilaporkan jurnalis Kompas TV, Hasya Nindita.
Baca Juga: DPR Terima Surpres RUU TPKS, Muhaimin Iskandar: Dibahas Saat Reses
Di samping itu, lanjut Eddy, RUU TPKS juga lebih menitikberatkan pada hukum acara.
“Mengapa? anda bisa bayangkan, laporan Komnas perempuan, komnas HAM, KPAI, ada sekitar 6 ribu kasus kekerasan seksual, yang bisa dijadikan total inforce, yang nyampe kenyataan perkara, proses pengadilan, itu enggak sampai 300, di bawah 5 persen,” katanya.
“Ada yang salah sama hukum acara. Oleh sebab itu, hukum acara UU TPKS sangat detail dan komprehensif,” imbuhnya, menegaskan.
Lebih lanjut Eddy mengatakan, ketentuan dalam RUU TPKS juga mengatur soal penyidik yang wajib untuk menangani perkara.
“Tidak boleh menolak perkara, wajib memproses. Tidak cukup bukti dan lain-lain, different story,” ujarnya.
Selain itu, Eddy menambahkan, RUU TPKS juga menegaskan bahwa penyelesaian kasus pidana kekerasan seksual tidak boleh menggunakan restoractive justice.
Baca Juga: Gelar Konsultasi Publik, Pemerintah Pastikan Keterlibatan Masyarakat dalam RUU TPKS
“Penyelesaian TPKS tidak boleh menggunakan restoractive justice, ini sering terjadi di mana-mana, pelaku berduit, korban enggak mampu, itu enggak boleh,” tegasnya.
“Hukum acara lain, restitusi jadi kewajiban, bahasa di RUU kita itu, pidana penjara atau denda, hakim wajib menetapkan besarnya restitusi kepada korban. Itu berjenjang,” tambahnya.
Lalu dikonfirmasi bagaimana jika pelaku kekerasan seksual merupakan orang tidak mampu, Eddy memastikan, aturan dalam RUU TPKS benar-benar memberikan perlindungan kepada korbannya.
“Begitu seseorang ditetapkan sebagai tersangka, polisi sita jaminan prostitusi. Jangan sampai dia alihkan,” ucapnya.
“RUU ini betul-betul memberikan perlindungan pada korban yang luar biasa. Sita jaminan tidak cukup untuk biaya restitusi diperhitungkan untuk hukuman subsider,” tambahnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.