JAKARTA, KOMPAS.TV – Kota Surabaya mendapatkan predikat Kota Layak Anak (KLA) Utama keempat kalinya dinilai belum maksimal dalam penyelenggaraan KLA.
Hal itu disampaikan Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Agustina Erni, terkait adanya kasus kekerasana pada siswa oleh guru.
Melalui keterangan tertulis, Minggu (6/2/2022), Erni menyebut bahwa pada dasarnya penyelenggaraan KLA bukan hanya diukur dari satu indikator saja.
Menurut dia, masih adanya anak didik yang mengalami kekerasan oleh oknum guru, meskipun sekolah tersebut sudah dinyatakan sebagai Satuan Pendidikan Ramah Anak (SRA).
Faktanya, lanjut Erni, sekolah tersebut masih berproses menuju Satuan Pendidikan Ramah Anak berproses untuk memenuhi 6 komponen SRA.
Baca Juga: Buntut Kasus Kekerasan Terhadap Murid, Wali Kota Surabaya Berikan Arahan Para Guru Agar Tak Terulang
“Hal ini juga sejalan dengan Kota Surabaya yang mendapatkan predikat KLA Utama keempat kalinya dinilai belum maksimal dalam penyelenggaraan KLA, karena pada dasarnya penyelenggaraan KLA bukan hanya diukur dari satu indikator saja, namun banyak indikator terkait di dalamnya,” urainya.
Namun, dia berharap implementasi dalam bidang pendidikan, bahwa setiap anak didik perlu mendapatkan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, maupun sosial jauh dari kekerasan dan ketakutan.
Hal ini, kata Erni, bertujuan agar anak juga dapat mengembangkan kepribadiannya, menggali potensi, dan menumbuhkan kepercayaan diri yang baik.
“Kami yakin tidak mudah mempertahankan kualitas peringkat utama bagi Kota Surabaya, semua membutuhkan sinergitas dan upaya perlindungan anak yang melibatkan semua elemen masyarakat dan pihak terkait lainnya,” terang Erni.
Erni menegaskan pemberian penghargaan KLA tersebut, bertujuan agar Kota Surabaya dapat meningkatkan sinergitas dan komitmen mengimplementasikan klaster-klaster dalam indikator KLA khususnya klaster pemenuhan hak anak atas Pendidikan.
Upaya tersebut juga dilakukan dengan melaksanakan pendidikan dengan menerapkan Disiplin Satuan Pendidikan Ramah Anak (SRA) yaitu suatu pola pendisiplinan yang tidak merendahkan martabat anak dan tanpa kekerasan.
Mengenai aksi kekerasan oknum guru di SMPN 49 yang membenturkan kepala siswa ke papan tulis, hal itu disebutnya melanggar UU perlindungan Anak diantaranya pasal 80 ayat (1) UU Nomor 35 tahun 2014.
Kasus yang terjadi di SMP N 49 Surabaya tersebut, ditegaskannya merupakan kasus pelanggaran hukum.
Sebab, selain berdampak pada psikologis anak, juga berdampak pada luka fisik yang dialami oleh anak.
Baca Juga: 6 Pria Bersenjata Tajam Menculik Anak di Surabaya
Sehingga penanganannya pun akan jauh lebih kompleks dan membutuhkan keterlibatan jejaring lebih banyak lagi, karena pelaku maupun korban sama-sama membutuhkan pendampingan psikologis, termasuk siswa yang menyaksikan kejadian tersebut.
“Kami mengapresiasi dengan langkah cepat dan komprehensif yang dilakukan oleh Wali Kota Surabaya terkait penanganan kasus dengan mengumpulkan seluruh kepala sekolah yang ada di Kota Surabaya untuk diberikan pengarahan dan penguatan,” imbuhnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.