JAKARTA, KOMPAS.TV- Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa memastikan institusinya siap mendukung keputusan pemerintah untuk membawa persoalan proyek satelit ke proses hukum.
Pernyataan itu disampaikan Jenderal Andika yang mengungkapkan telah bertemu dengan Menko Polhukam Mahfud MD perihal indikasi beberapa anggota TNI masuk dalam proses hukum proyek satelit di Kementerian Pertahanan (Kemhan).
“Intinya sama, beliau menyampaikan bahwa proses hukum ini (proyek satelit) segera akan dimulai dan memang beliau menyebut ada indikasi awal beberapa personel TNI yang masuk dalam proses hukum,” kata Jenderal Andika seusai menemui Jaksa Agung ST Burhanuddin di Kantor Kejaksaan Agung, Jumat (14/1/2022).
“Oleh karena itu saya siap mendukung keputusan dari pemerintah untuk melakukan proses hukum ini,” tambahnya.
Baca Juga: Kejagung Mulai Penyidikan Proyek Satelit di Kemhan yang Rugikan Negara Hampir Rp1 Triliun
Andika lebih lanjut pun menyampaikan secara langsung, bahwa TNI menunggu informasi dari Kejaksaan Agung perihal proyek satelit yang diduga merugikan negara dan melibatkan anggota TNI.
“Jadi kami menunggu nanti untuk nama-namanya yang memang masuk dalam kewenangan kami,” ucap Jenderal Andika Perkasa.
Perihal kasus proyek satelit di Kemhan, Jaksa Agung Saniter Burhanuddin mengungkapkan pihaknya telah menandatangani Surat Perintah penyidikan untuk proyek pengelolaan satelit yang ada di Kemhan.
“Hari ini kami tandatangani surat perintah penyidikannya (sprindik),” ucap Burhanuddin.
Namun lebih lanjut, Burhanuddin enggan mengungkapkan secara gamblang perihal proyek pengelolaan satelit yang ada di Kementerian Pertahanan yang diduga membuat negara menelan kerugian hampir Rp1 triliun itu.
“Nanti sore akan kita sampaikan,” kata Burhanuddin.
Dalam keterangannya, Burhanuddin pun meminta untuk perihal proyek satelit di Kemenhan ditanyakan langsung kepada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus).
“Kasus posisinya atau apapun, nanti tanyakan ke Jampidsus nanti sore,” ujarnya.
Sebelumnya diberitakan KOMPAS.TV, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD membeberkan adanya dugaan pelanggaran hukum dalam proyek satelit Kementerian Pertahanan (Kemhan).
Baca Juga: Mahfud MD Beberkan Proyek Satelit Kemhan yang Rugikan Negara Hampir Rp1 Triliun
“Dugaan pelanggaran terkait proyek Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan) pada tahun 2015,” kata Mahfud.
Mahfud menjelaskan, pada tanggal 19 Januari 2015, Satelit Garuda-1 telah keluar orbit dari Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) sehingga terjadi kekosongan pengelolaan oleh Indonesia.
Berdasarkan peraturan International Telecommunication Union (ITU), negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali Slot Orbit tersebut.
Apabila tidak dipenuhi, maka hak pengelolaan Slot Orbit akan gugur secara otomatis dan dapat digunakan oleh negara lain.
Untuk mengisi kekosongan pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT itu, kata Mahfud, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) lalu memenuhi permintaan Kementerian Pertahanan (Kemhan).
Permintaan itu yakni mendapatkan hak pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT guna membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan).
Kemhan kemudian membuat kontrak sewa Satelit Artemis yang merupakan floater atau satelit sementara pengisi orbit milik Avanti Communication Limited (Avanti) pada tanggal 6 Desember 2015.
Meskipun, lanjut dia, persetujuan penggunaan Slot Orbit 123 derajat BT dari Kominfo itu baru diterbitkan tanggal 29 Januari 2016.
Namun, pihak Kemhan pada tanggal 25 Juni 2018 mengembalikan hak pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT kepada Kominfo.
Lalu, pada tanggal 10 Desember 2018, Kominfo mengeluarkan keputusan tentang Hak Penggunaan Filing Satelit Indonesia pada Orbit 123 derajat untuk Filing Satelit Garuda-2 dan Nusantara-A1-A kepada PT Dini Nusa Kusuma (PT DNK).
Namun ternyata PT DNK tidak mampu menyelesaikan permasalahan residu Kemhan dalam pengadaan Satkomhan.
Baca Juga: Jenderal Andika Perkasa: 3 Anggota TNI Penabrak Sejoli Jadi Tersangka, Senin Rekonstruksi
Pada saat melakukan kontrak dengan Avanti tahun 2015, Kemhan belum memiliki anggaran untuk keperluan tersebut.
"Kontrak-kontrak itu dilakukan untuk membuat satelit komunikasi pertahanan dengan nilai yang sangat besar padahal anggarannya belum ada," tuturnya.
Untuk membangun Satkomhan, kata Mahfud, Kemhan juga menandatangani kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat dalam kurun waktu tahun 2015-2016, yang anggarannya dalam tahun 2015 juga belum tersedia.
Sedangkan di tahun 2016, anggaran telah tersedia, namun dilakukan self blocking oleh Kemhan.
Kemudian, Avanti menggugat di London Court of Internasional Arbitration karena Kemhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani.
"Pada 9 Juli 2019, pengadilan arbitrase menjatuhkan putusan yang berakibat negara telah mengeluarkan pembayaran untuk sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filing satelit sebesar ekuivalen Rp515 miliar," ujarnya.
Baca Juga: Panglima TNI Andika Perkasa Ungkap Kolonel P Ternyata Sempat Bohong Tabrak Handi-Salsabila di Nagreg
Selain itu, kata Mahfud, pemerintah juga baru saja menerima putusan dari Arbitrase Singapura terkait gugatan Navayo. Putusan itu menyatakan bahwa pemerintah diharuskan membayar USD20,9 juta.
"Yang USD20 juta ini nilainya mencapai Rp304 miliar," ujarnya.
Mahfud pun memperkirakan angka kerugian ini akan bertambah besar karena masih ada perusahaan lain yang meneken kontrak dengan Kemhan dan belum mengajukan gugatan.
"Selain sudah kita dijatuhi putusan arbitrase di London dan Singapura tadi, negara juga berpotensi ditagih lagi oleh AirBus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat. Jadi banyak sekali nih beban kita kalau ini tidak segera diselesaikan," kata Mahfud.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.