GARUT, KOMPAS.TV - Sebelas santriwati asal Garut yang menjadi korban pemerkosaan di sebuah pesantren di daerah Bandung, Jawa Barat, sudah mendapat pendampingan psikologis dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Garut.
Menurut Ketua P2TP2A Garut Diah Kurniasari, seluruh korban beserta orang tua terus didampingi dan diawasi lantaran trauma yang masih mereka alami.
Diah mengatakan, pendampingan juga dilakukan karena beberapa korban turut menjadi saksi di persidangan.
"Sebelas korban yang berasal dari Garut, Jawa Barat tengah mendapatkan pendampingan dari P2TP2A. Korban dan keluarga kini masih dalam pengawasan lantaran trauma yang dialami serta pendampingan korban yang menjadi saksi di persidangan," kata Diah dalam program Sapa Indonesia Pagi KOMPAS TV, Jumat (10/12/2021).
Lebih lanjut, Diah menyatakan bahwa kini seluruh korban yang mengandung telah melahirkan. Ini, lanjut dia, sekaligus untuk menanggapi kabar yang menyatakan bahwa dua orang korban masih mengandung.
Baca Juga: Komnas HAM Minta Pelaku Pemerkosaan Santriwati Dihukum Secara Maksimal
Adapun seluruh korban masih berusia di bawah umur dengan rentang 13-16 tahun.
"Jadi sekarang, semua sudah dilahirkan," ujarnya.
Diah juga menuturkan, kejadian ini awalnya terungkap lantaran orang tua melihat sikap anaknya yang berbeda dari biasanya.
Setelah mengaku mendapat tindakan asusila dari seorang guru di pesantren, orang tua didampingi kepala desa kemudian melapor ke Polda Jawa Barat. Hingga kasus ini naik ke persidangan dan diketahui khalayak ramai.
Diah menuturkan, meski disebut pesantren, ternyata pengajar dan pengurusnya cuma Herry Wiryawan atau HW, pelaku pemerkosaan belasan santriwati.
Bahkan, guru yang mengajar para santri merupakan guru yang datang atau diundang ke pondok pesantren, bukan guru tetap.
"Walau dibilang pesantren, ternyata pengajarnya dan yang mengurus pesantren itu cuman pelaku. Kalaupun memang ada guru yang datang ternyata mereka diiming-iming untuk belajar tapi ternyata belajarnya guru datang," jelas Diah.
Adapun hampir seluruh santriwati yang belajar di pesantren tersebut, kata Diah, memiliki pertalian saudara dan tetangga.
Kebanyakan santri yang belajar di sana, kata Diah, karena alasan bisa sekolah dengan gratis.
"Mereka sekolah di sana karena gratis. Banyak pertalian saudara dan tetangga. Jadi seperti yuk kita belajar di sana karena gratis. Nah inilah awalnya," ungkapnya.
Baca Juga: Sosok Herry, Guru Pesantren yang Perkosa 12 Santri: Dikenal Pendiam dan Bukan Pimpinan Ponpes
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.