JAKARTA, KOMPAS.TV - Kiprah Persaudaraan Alumni 212 (PA 212) memang banyak menimbulkan kontroversi.
Mulai dari soal ngotot menggelar Reuni 212 pada tanggal 2 Desember kemarin yang tetap digelar di Tuga Patung Kuda, Jakarta Pusat, hingga soal gerakan tesebut menjadi pressure group (kelompok penekan) dalam percaturan politik di Indonesia.
Pengamat Politik Islam dari The Polical Literacy Muhammad Hanifudin, menyatakan Reuni 212 yang digelar 2 Desember 2021, adalah upaya merawat eksistensi sebagian kelompok Islam.
Hanif juga berpendapat, gaung PA 212 secara nasional bisa jadi tidak akan sekuat beberapa tahun sebelumnya mengingat tahun ini bukanlah momentum tahun politik.
“Reuni PA 212 tahun ini adalah bagian merawat eksistensi. Gaungnya tidak sekuat jika berdekatan dengan momentum tahun politik,” tutur Hanif kepada KOMPAS.TV, Kamis.
Reuni 212 rencananya digelar dan berfokus di satu tempat, yakni di Majelis Az-Zikra Sentul tapi batal karena masih dalam suasana berkabung atas meninggalnya salah satu putra almarhum ustaz Arifin Ilham. Lantas, berubah lagi dan tetap ngotot berlangsung di Patung Kuda, Jakarta.
Dalam amatan KOMPAS.TV di lapangan, ratusan orang berkumpul di area itu, namun tak lama. Pertanyaanya, kenapa Reuni 212 ngotot di Patung Kuda?
Ternyata ada motif politik di baliknya, karena Tugu Patung Kuda dan Monumen Nasional (Monas) dianggap sebagai representasi gerakan, serta bisa menjadi titik simpul gerakan mereka.
Berdasarkan pantauan, sejumlah massa sebelumnya sudah mulai membubarkan diri sejak pukul 10.00 WIB dari sejumlah titik kumpul di sekitar kawasan Patung Kuda.
Baca Juga: Motif Politik di Balik Reuni 212 Ngotot Digelar di Patung Kuda
Dalam ilmu politik, gerakan seperti Reuni 212 yang digelar kemarin 2 Desember 2021 di sejumlah kota di Indonesia dan terwadahi lewat organisasi PA 212 disebut sebagai gerakan pressure group atau kelompok penekan. Kelompok ini sangat beririsan dengan para elite politik di Indonesia.
“Dalam beberapa pernyataan tokoh PA 212, tidak akan jadi partai politik. Dalam prespektif ilmu politik, sejauh ini, PA 212 adalah pressure group (kelompok penekan). Forman dan Baldwin (2007) mendefinisikan pressure group sebagai kelompok masyarakat yang melalui tindakan politik, berusaha untuk mencapai perubahan yang diinginkan, atau sebaliknya mencegah perubahan yang tidak diinginkan," papar Hanif.
Dalam praktiknya, kelompok ini akan menekan pemangku kebijakan atau pemerintah untuk mengakomodir tuntutan dan kepentingannya.
"Targetnya, mendapatkan dukungan, baik material ataupun nonmaterial," kata Hanif.
Di titik inilah, ungkap Hanif, kerentanan pressure group adalah dapat ditunggangi oleh kepentingan elite politik tertentu. Meskipun hal ini bisa berpengaruh positif ataupun negatif.
Baca Juga: Menilik Gerakan PA 212 sebagai Pressure Group bagi Elite Politik Indonesia, Ternyata Ini Targetnya
Desakan agar PA 212 menjadi parpol sudah lama dilontarkan oleh banyak pihak sebab bisa menyalurkan hak politiknya secara langsung. Mulai dari politisi hingga para pengamat, tapi tampakya, PA 212 memilih jalan untuk tidak di jalur partai.
“Dalam beberapa pernyataan tokoh PA 212, tidak akan jadi partai politik. Dalam prespektif ilmu politik, sejauh ini, PA 212 adalah pressure group (kelompok penekan),” jelas Hanif.
Hanif juga memaparkan, sebagai kelompok penekan, tugas PA 212 sebagai gerakan adalah membingkai isu. Upaya ini nantinya berelasi dengan para elit partai.
“Keberadaannya dipengaruhi oleh kemampuan membingkai isu dan menjalin relasi dengan pemangku kebijakan dan elit partai,” tambahnya.
Baca Juga: Sejarah Reuni 212: dari Tuntutan Penjarakan Ahok, Bebaskan Rizieq Shihab hingga Usul Jadi Parpol
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.