JAKARTA, KOMPAS.TV - Ketua Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) DPR RI Willy Aditya mengatakan telah menghapus persetujuan seksual (sexual consent) dari regulasi itu.
“Kami sudah memutuskan terkait dengan kata 'persetujuan' itu dihapuskan, tidak ada lagi sexual consent dalam draf RUU TPKS,” ujar Willy pada Rabu (17/11/2021), dikutip dari ANTARA.
Lebih jauh, Willy mengatakan RUU TPKS tidak melegalisasi seks bebas dan hubungan sesama jenis. Ia menyebut, Panja RUU TPKS telah hati-hati dan cermat menyusun aturan itu.
Baca Juga: Mengulas Permendikbud PPKS: Sederet Sanksi Siap Jerat Pelaku Kekerasan Seksual di Kampus
Di sisi lain, Willy mengakui memang ada perdebatan alot terkait beberapa pasal kontroversial RUU TPKS.
Akan tetapi, ia menyebut beberapa pasal itu sudah selesai dibahas dalam dua hari belakangan.
"Pasal 5, 6, dan Pasal 7 sudah selesai dibahas. Kami memiliki kehati-hatian dan kecermatan dalam menyusun RUU TPKS,” kata Willy.
Saat ini, Panja RUU TPKS akan melakukan rapat sekali lagi untuk membahas isi draf aturan itu. Willy menyebut, Panja akan membahas 4-5 poin lagi dalam RUU TPKS.
"Kami kembali lakukan dialog agar sesuai dengan agenda. Pada tanggal 25 November 2021 diambil keputusan," ucap Willy.
Berikut ini rincian isi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual hingga 15 November:
- Pasal 5 menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan memaksa orang lain menggunakan alat kontrasepsi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, penyesatan, penipuan, membuat atau memanfaatkan kondisi tidak berdaya sehingga orang itu tidak dapat memberikan persetujuan secara bebas, yang dapat membuat kehilangan fungsi reproduksinya untuk sementara waktu, dipidana karena pemaksaan kontrasepsi, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Baca Juga: Dukung Permendikbud 30 PPKS, Alissa Wahid: Terlalu Banyak Korban Kejahatan Seksual
- Pasal 6 menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan memaksa orang lain menggunakan alat kontrasepsi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, penyesatan, penipuan, membuat atau memanfaatkan kondisi tidak berdaya sehingga orang itu tidak dapat memberikan persetujuan secara bebas, yang dapat membuat kehilangan fungsi reproduksinya secara tetap, dipidana karena pemaksaan sterilisasi, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau pidana denda paling lama Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
- Pasal 7 bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu daya, rangkaian kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan untuk melakukan hubungan seksual, dengan memasukkan alat kelaminnya, bagian tubuhnya, atau benda ke alat kelamin, anus, mulut, atau bagian tubuh orang lain, dipidana karena pemaksaan hubungan seksual dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
- Pasal 8 menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu daya, rangkaian kebohongan, nama identitas atau martabat palsu, penyalahgunaan kepercayaan, penyalahgunaan wewenang, atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan, atau ketergantungan seseorang, agar seseorang melakukan hubungan seksual dengannya atau orang lain dan/atau perbuatan yang memanfaatkan tubuh orang tersebut yang terkait keinginan seksual dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana karena eksploitasi seksual, dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
- Pasal 9 menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan satu atau lebih tindak pidana kekerasan seksual dalam undang-undang ini dengan:
a. memaksa korban, saksi, atau orang ketiga memberikan atau tidak memberikan keterangan;
b. menghakimi atau memberikan penghukuman atas suatu perbuatan yang diduga telah dilakukan olehnya ataupun oleh orang lain untuk mempermalukan atau merendahkan martabatnya; dan/atau
c. tujuan lain yang didasarkan pada diskriminasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Baca Juga: Aturan Kekerasan Seksual di Universitas: Dilarang Merayu, Sanksi Pemecatan, Penurunan Akreditasi