JAKARTA, KOMPAS.TV- Setiap memperingati Hari Pahlawan 10 November, sosok yang langsung mencuat adalah Bung Tomo alias Soetomo. Lelaki kelahiran 3 Oktober 1920 di Blauran, Surabaya, Jawa Timur, ini sangat terkenal karena pidatonya yang disiarkan oleh radio yang berisi ajakan untuk tidak tunduk kepada penjajah. Pidatonya yang berapi-api itu, masih terekam sampai sekarang dan sering diputar setiap jelang hari pahlawan.
Kharisma dan jiwa juang Bung Tomo sudah terbentuk sejak muda. Mengutip Kompaspedi, Bung Tomo adalah pimpinan Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) di Surabaya. Ia memimpin laksar itu sejak 12 Oktober 1945 hingga Juni 1947. Tidak mengherankan bila sosoknya sangat disegani, apalagi setelah peristiwa 10 November.
Selain sebagai pimpinan laskar, Bung Tomo juga adalah seorang jurnalis. Dia pernah menjadi wartawan di Soeara Oemoem, Ekspres, Pembela Rakyat dan Pustaka Timoer. Bahkan di masa pendudukan Jepang, dia pernah duduk sebagai wakil pemimpin redaksi Domei.
Baca Juga: Hari Pahlawan 10 November: Usmar Ismail, Gelar Pahlawan dari Jejak Seni Film
Pada tahun 1950, dia juga pernah duduk di pemerintahan sebagai Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Kemerdekaan merangkap Menteri Sosial Ad Interim. Posisi ini diemban hingga 1956. Pada era Orde Lama itu, dia pun pernah duduk sebagai anggota DPR dari partai yang dia dirikan yaitu Partai Rakyat Indonesia.
Namun, setelah pemilu 1955, Bung Tomo banyak berseberangan dengan Presiden Soekarno. Bahkan pada 24 Agustus 1960, Bung Tomo tak segan menggugat Soekarno ke pengadilan karena telah membubarkan konstituante hasil pemilu 1955.
Baca Juga: Peringatan Hari Pahlawan 2021, Berikut Tema dan Logonya
Memasuki Orde Baru, Bung Tomo banyak terlibat dalam aksi menentang komunisme dan mendukung pemerintahan baru pimpinan Presiden Soeharto.
Namun dukungan kepada pemerintah Orde Baru ini tak lama. Ketika berbagai pembangunan digalakkan, namun dianggap tidak berhubungan langsung dengan rakyat dia pun langsung mengeritiknya. Salah satunya pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada 1978. Akibat aksinya, dia pun harus mendekam dipenjara selama setahun dengan tuduhan subversif.
Keluar dari penjara, Bung Tomo menghabiskan waktunya untuk kegiatan sosial keagamaan. Pada 7 Oktober 1981 di Padang Arafah, saat melaksanakan ibadah haji, Sang Khalik memanggilnya. Dia pun dimakamkan di sana. Namun berkat permintaan banyak kalangan, empat bulan kemudian jasadnya bisa dibawa pulang dan dimakamkan di Ngagel Rejo, Surabaya, sesuai permintaanya saat hidup.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.