JAKARTA, KOMPAS.TV – Kebijakan pemerintah yang mewajibkan calon penumpang pesawat udara menunjukan hasil negatif tes polymerase chain reaction atau PCR kembali menuai sorotan. Kali ini dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi meminta agar kebijakan tersebut benar-benar ditentukan secara adil.
Jangan sampai ada pihak tertentu yang diuntungkan oleh kebijakan wajib PCR tersebut.
"Jangan sampai kebijakan tersebut kental aura bisnisnya. Ada pihak-pihak tertentu yang diuntungkan," kata Tulus, seperti dikutip dari Kompas.com, Minggu (24/10/2021)
Menurutnya, kebijakan wajib PCR untuk penumpang pesawat memberatkan dan menyulitkan konsumen, juga diskriminatif.
"Diskriminatif, karena sektor transportasi lain hanya menggunakan antigen, bahkan tidak pakai apapun," katanya.
Baca Juga: Wajib Tes PCR Bagi Penumpang Pesawat, Ada Dampak Untuk Dunia Pariwisata?
Sebaiknya, lanjut Tulus, syarat wajib PCR dibatalkan atau minimal direvisi. Misalnya, masa berlakunya menjadi 3x24 jam, mengingat tidak semua laboratorium PCR bisa mengeluarkan hasil cepat.
Dia juga menyarankan agar harga eceran tertinggi (HET) tes PCR diturunkan pada kisaran harga Rp200 ribuan.
"Atau cukup antigen saja, tapi harus vaksin dua kali. Dan turunkan HET PCR kisaran menjadi Rp200 ribuan," imbuhnya.
Terlebih, selama ini banyak penyedia layanan tes PCR yang memainkan harga, sehingga tarifnya meningkat berkali-kali lipat, khususnya tes PCR yang hasilnya dapat diketahui dalam waktu relatif singkat.
"HET PCR di lapangan banyak diakali oleh provider (penyedia) dengan istilah 'PCR Ekspress', yang harganya tiga kali lipat dibanding PCR yang normal. Ini karena PCR normal hasilnya terlalu lama, minimal 1x24 jam," urainya.
Senada dengan YLKI, Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setidjowarno juga berpendapat bahwa banyak penyedia layanan tes PCR yang memaksimalkan keuntungan dari PCR.
Menurutnya, kewajiban PCR bagi penumpang pesawat seharusnya dihapuskan. Jika itu dilakukan, bisnis angkutan udara diyakininya bisa kembali membaik.
"Kalau mau perbaiki bisnis udara, ya hilangkan saja (syarat PCR) atau dibayarkan oleh pemerintah. Lagipula harganya beda-beda. Bahkan di beberapa tempat juga ditawari surat hasilnya. Tes PCR juga tidak tersedia di semua tempat," ucap dia.
Selain menyoroti kebijakan wajib tes PCR, Djoko juga meminta pihak bandara memperbaiki layanan sebagaimana syarat penerbangan yang sudah ditentukan.
Dia berpendapat pelayanan di bandara tidak jelas, misalnya terkait aturan tes.
Sumber : Kompas.com
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.