JAKARTA, KOMPAS.TV - Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa penyebaran berita bohong sehingga terkait Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja, Muhammad Jumhur Hidayat dengan pidana tiga tahun penjara.
Dalam tuntutannya, jaksa Puji Triasmoro dari Kejaksaan Agung RI mengemukakan bahwa Jumhur melanggar Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
"Menuntut supaya Majelis Hakim, menjatuhkan hukuman pidana kepada terdakwa Jumhur Hidayat selama 3 tahun dikurangi masa tahanan," kata Jaksa saat membacakan tuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (23/9/2021).
Hukuman itu, kata dia, akan dikurangi masa penangkapan dan penahanan Jumhur selama yang bersangkutan di Rumah Tahanan Bareskrim Polri, Jakarta.
Baca juga: Jumhur Hidayat Tegaskan Tak Ada Bukti Cuitannya Memicu Kericuhan pasca Unjuk Rasa Omnibus Law
Tuntutan itu, kata jaksa, berdasarkan pertimbangan yang memberatkan dan meringankan.
Pertimbangan yang memberatkan, antara lain perbuatan Jumhur meresahkan masyarakat dan menyebabkan kerusuhan.
"Terdakwa tidak pernah menyesali perbuatannya," kata Puji Triasmoro.
Tidak hanya itu, lanjut jaksa, rekam jejak Jumhur yang pernah dijatuhi pidana penjara saat yang bersangkutan berdemonstrasi pada masa Orde Baru. Hal ini masuk dalam pertimbangan yang memberatkan.
Adapun Perbuatan Jumhur yang meringankan, penuntut umum menyebut yang bersangkutan berlaku sopan selama persidangan.
Baca juga: Bima Arya: Implementasi Omnibus Law Harus Disesuaikan dengan Perbedaan Kondisi Setiap Daerah
Usai pembacaan tuntutan, majelis hakim PN Jakarta Selatan yang dipimpin oleh Hapsoro Widodo mengumumkan sidang kembali dilanjutkan pada hari Kamis (30/9) dengan agenda pembacaan nota pembelaan (pleidoi).
Dalam perkara ini, Jaksa Penuntut Umum mendakwa Jumhur Hidayat menyebarkan berita bohong dan membuat keonaran lewat cuitan di akun Twitter pribadinya, terkait Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja.
Jaksa menilai cuitan Jumhur ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), dalam hal ini golongan pengusaha dan buruh.
Akibat dari cuitannya itu, timbul polemik di tengah masyarakat terhadap produk hukum pemerintah.
Sehingga berdampak pada terjadinya rangkaian aksi unjuk rasa yang dimulai pada 8 Oktober 2020, hingga berakhir rusuh.
Baca juga: KSPI Akan Minta Omnibus Law Dicabut Saat Unjuk Rasa Hari Buruh
Melalui akun Twitter @jumhurhidayat, ia mengunggah kalimat "Buruh bersatu tolak Omnibus Law yang akan jadikan Indonesia menjadi bangsa kuli dan terjajah".
Kemudian pada 7 Oktober 2020, Jumhur kembali mengunggah cuitan yang mirip-mirip berisi "UU ini memang utk PRIMITIVE INVESTOR dari RRC dan PENGUSAHA RAKUS. Kalau INVESTOR BEERADAB ya seperti di bawa ini".
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.