JAKARTA, KOMPAS.TV - Perempuan pekerja di kawasan pabrik sangat rentan mendapatkan kekerasan seksual. Kendati hal yang sama juga berlaku pada laki-laki.
Hal itu diungkapkan Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Luluk Nur Hamidah saat mengikuti Rapat Dengan Pendapat Umum (RDPU) Baleg DPR RI dengan Aliansi Pekerja/Buruh Garmen Alas Kaki dan Tekstil Indonesia (APBGATI) terkait Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang berlangsung secara hybrid, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (25/8/2021).
Kekerasan seksual itu, menurut Luluk, dimulai dari sejak perempuan membutuhkan pekerjaan, bertemu calo/agen, hingga ketika telah berada di tempat kerja karena adanya ketimpangan relasi sosial (atasan-bawahan).
Bagi Luluk, kekerasan seksual itu sebagai suatu hal yang tidak main-main. Suatu yang nyata, yang bisa membuat posisi para pekerja garmen pada posisinya yang sangat powerless dan marjinal.
"Dan mereka tidak tahu harus melakukan apa, karena di sana ada kepentingan yang harus mereka jaga, mulai dari persoalan ekonomi, keluarga, dan sebagainya,” ujar Luluk melalui keterangan tertulisnya, Kamis (26/8/2021).
Meskipun demikian, Anggota Komisi IV DPR RI tersebut tidak menampik bahwa tidak hanya perempuan yang rentan mengalami kekerasan seksual di tempat kerja.
Ada juga lelaki yang menerima kekerasan seksual, baik intimidasi (power) yang berasal dari sesama lelaki maupun juga bisa berasal dari perempuan.
Baca Juga: Angkat Isu Kekerasan Seksual, 'Penyalin Cahaya' jadi Film Panjang Pertama Wregas Bhanuteja
Karena itu, tambah Luluk, dalam dinamika pembahasan RUU PKS, pernah terlintas masukan bahwa pelaku kekerasan tidak boleh dilihat sama dari sisi relasi dengan korban.
Hal tersebut berkaitan dengan pemberatan hukuman bagi para pelaku kekerasan yang seharusnya memiliki kewenangan untuk melindungi orang-orang, baik yang ada di lingkup keluarga atau tempat kerja.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.