JAKARTA, KOMPAS.TV- Perludem mengatakan konstitusi tidak membuka ruang bagi penundaan pemilihan umum (pemilu) 2024 menjadi 2027. Mengacu pada Pasal 7 UUD NRI Tahun 1945, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden harus dilakukan lima tahun sekali.
Demikian Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini mengatakan kepada KOMPAS TV menanggapi wacana penundaan pemilu 2024 ke tahun 2027.
“Penundaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tidak dimungkinkan untuk dilakukan tanpa Amendemen Konstitusi atas Pasal 7 UUD NRI Tahun 1945,” tegas Titi Anggraini, Jumat (20/8/2021).
Sebab, lanjut Titi, kalau dilihat frasa atau norma yang ada di pasal 7 Undang-undang Dasar tegas disebutkan bahwa jabatan presiden itu selama 5 tahun, tidak lebih tidak kurang.
Baca Juga: Wakil Ketua DPR: Pemilu Tak Mungkin Diundur ke 2027
“Makanya kan setiap tanggal 20 Oktober itu siklus lima tahunan ya harus ada presiden baru yang hasil pemilu dilantik dan mengucapkan sumpah janji. Karena kalau baca pasal 7 ini artinya tidak boleh presiden jabatannya dimundurkan atau dimajukan,” ujarnya.
“Karena satu-satunya jabatan publik melalui pemilihan umum yang durasinya tegas eksplisit diatur undang-undang dasar itu hanya ada untuk presiden dan wakil presiden. Kepala daerah tidak disebut DPR tidak disebut DPD tidak disebut DPRD tidak disebut.”
Dengan ketentuan dalam aturan tersebut, Titi memastikan tidak ada ruang bagi presiden yang saat ini menjabat untuk melanjutkan atau mengurangi masa jabatannya.
“Jadi tidak ada ruang kurang atau lebih dari 5 tahun kecuali kalau dia dapat impeachment atau pemakzulan gitu ya. Bisa saja masa jabatannya kurang dari 5 tahun tapi penggantinya itupun dalam jangka waktu masa jabatan 5 tahun,” terang Titi.
Baca Juga: KPU Jadwalkan Pemilu 21 Februari dan Pilkada 27 November 2024
“Jadi kalau dia naik, misalnya Wapres naik menggantikan presiden tetap saja 5 tahun, seperti ketika Megawati mengganti presiden Abdurrahman Wahid pada waktu itu jadi 5 tahun itu adalah kunci.”
Kemudian, lanjut Titi, jika mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi 55/PUU-XVII/2019, tidak dimungkinkan untuk memisahkan penyelenggaraan Pilpres dengan Pemilu Anggota DPR dan Pemilu Anggota DPD.
Dalam konteks dimungkinkan, Titi menutukan hanya bisa dilakukan untuk menata penjadwalan Pemilu Anggota DPRD dan Pilkada.
Namun, sambung Titi, menyelenggarakan Pileg, Pilpres, dan Pilkada pada tahun yang sama (2024) meski berbeda bulan akan menimbulkan beban berlipat bagi penyelenggara dan bisa membuat kelelahan pemilih.
Baca Juga: Mendagri Ajukan Anggaran Persiapan Pemilu 2024 Rp 1,9 Triliun
Selain itu, ini akan membuat politik gagasan makin menjauh dari praktik kepemiluan kita dan Pemilu akan dianggap sekedar rutinitas lima tahunan yang kurang bermakna.
“Oleh karena itu perlu redisain pemilu yang lebih logis dan kompetitif dengan menjaga keadilan kompetisi bagi semua jenis pemilihan perlu terus didorong,” ujarnya.
“Penjadwalan pemilu yang bisa memberi distribusi beban penyelenggaraan, mendorong rasionalitas pemilih, dan kompetisi yang kompetitif antar aktor pemilihan.”
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.