JAKARTA, KOMPAS.TV- Sudah lazim di awal kemerdekaan masyarakat saling menyapa dengan sapaan "bung". Tak terkecuali bagi para pendiri bangsa seperti Soekarno, Mohammad Hatta dan Sjahrir yang akrab disapa "Bung Karno", "Bung Hatta", dan "Bung Sjahrir."
Meski tidak diketahui secara pasti asal mulanya, namun sapaan itu simbol keakraban dan kesetaraan. Apalagi di era revolusi, usia para pendiri bangsa rata-rata sebaya. Hanya beberapa yang lebih senior, salah satunya adalah Haji Agus Salim, yang pernah menjabat Ketua Sarekat Islam setelah HOS Cokroaminoto.
Agus Salim adalah tokoh senior dari sisi pengalaman dan usia. Tidak heran bila mendapat julukan "The Grand Old Man". Meski senior dari banyak segi dibandingkan yang lain, tapi sikapnya tetap rendah hati.
Baca Juga: Sejarah Hari Ini, 15 Agustus 1945 Proklamasi Kemerdekaan “Pertama” Indonesia di Cirebon
Menjelang proklamasi 17 Agustus 1945, lelaki kelahiran 8 Oktober 1884 itu duduk sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) bentukan Jepang. Ada 60 orang Indonesia dan 7 perwakilan Jepang di sana.
Pada tanggal 1 Juni, dia diangkat menjadi Panitia Sembilan yang bertugas menyusun dasar negara. Meski senior, Salim menghormati Sukarno yang duduk sebagai ketua.
Salim merupakan salah satu tokoh Islam terkemuka bersama Wahid Hasyim dan Abdul Kahar Muzakir. Salah satu persoalan yang harus ditangani panitia adalah mencari kompromi antara blok nasionalis sekuler yang menuntut negara sekuler dengan kelompok Islam, yang berpendapat bahwa sebagai negara mayoritas Muslim, Indonesia merdeka harus didasarkan pada prinsip-prinsip Islam.
Ketika duduk sebagai Menteri Luar Negeri di Kabinet Amir Sjarifudin tahun 1947, Agus Salim menjadi menteri yang usianya tidak muda lagi. Dalam buku "Seratus Tahun Haji Agus Salim," SK Trimurti menuliskan kenangannya saat sidang-sidang kabinet.
Baca Juga: Mensesneg: Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan RI Dilakukan Secara Virtual
Menurut Trimurti, kala itu kesehatan Agus Salim mulai terganggu. "Walau selalu hadir dalam sidang kabinet, tetapi ia tidak duduk di kursi seperti orang lain. Tapi di kursi malas, yang khusus di taruh untuknya. Karena ia memang paling tua dari pemimpin kita ketika itu," kata Trimurti.
Meski lebih tua usia, namun dalam soal sapaan tidak ada beda, antara buat pejabat menteri hingga perdana menteri. "Semua orang dia panggil nama saja, baik yang sama-sama menteri, maupun Bung Karno. Tetapi suasana terasa akrab..." jelas Trimurti.
Wajar Agus salim memanggil nama, sebab para petinggi kala itu pernah menjadi anak didiknya di zaman penjajahan kolonial. Dan Agus Salim adalah guru mereka. Mohammad Roem, tokoh dalam perjanjian "Roem-Roiyen", mengenang ketika tahun 1925, Agus Salim sering didatangi para pemuda untuk saling berdiskusi. Rumahnya di Tanah Tinggi, Senen, hanyalah rumah kontrakan yang sempit.
Jalan menuju ke sana berlumpur bila hujan. "Rumahnya rumah kampung dengan meja kursi sangat sederhana," kata Roem.
Hampir semua yang pernah bertemu mengakui kehebatan Agus Salim dalam banyak hal, mulai dari agama, politik hingga bahasa. Agus Salim menguasai setidaknya delapan bahasa Asing. Tidak heran bila siapapun merasa tertarik berdiskusi dengan lelaki yang disebut salah satu tokoh paling melarat ini.
"Kami sangat asyik mendengarkan Haji Agus Salim bercakap-cakap. Bahasanya bagus dan cara ia menerangkan segala sesuatu sangat menarik," kenang Roem yang pernah menjabat Wakil Perdana Menteri ini.
Haji Agus Salim, sang diplomat ulung yang dimiliki Indonesia itu, telah mengajarkan arti kesetaraan dan persamaan dengan tindakan. Bukan basa-basi.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.