JAKARTA, KOMPAS.TV- Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko dinilai telah melakukan praktik pembungkaman atas kritisi yang disampaikan Indonesia Corruption Watch (ICW).
Lantaran, Moeldoko berniat melayangkan somasi kepada Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait dengan penelitian tentang polemik Ivermectin.
“Langkah ini amat disayangkan, sebab, semakin memperlihatkan resistensi seorang pejabat publik dalam menerima kritik,” kata Asep Komaruddin mewakil Koalisi Masyarakat Sipil, Jumat (30/7/2021).
Asep menekankan, langkah ICW merupakan bagian dari masyarakat sipil sedang menjalankan tugasnya dalam fungsi pengawasan terhadap pemerintahan.
“Hal yang mana sangat lazim dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil lainnya sebagai bentuk partisipasi untuk memastikan adanya tata kelola pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme,” ujarnya.
Baca Juga: ICW Enggan Tanggapi Ultimatum Moeldoko Lewat Kuasa Hukum Otto Hasibuan
Terlebih lagi, sambung Asep Komaruddin, ICW menuangkan pendapatnya dalam sebuah penelitian yang didasarkan atas kajian ilmiah dengan didukung data dan fakta.
“Sehingga, tidak salah jika dikatakan bahwa langkah Moeldoko, baik somasi maupun niat untuk memproses hukum lanjutan, merupakan tindakan yang kurang tepat dan berlebihan,” tegas Asep Komaruddin.
Sebagaimana diketahui, Indonesia saat ini sedang dilanda pandemi Covid-19 yang telah merenggut nyawa puluhan ribu rakyat dan meruntuhkan perekonomian negara.
Berangkat dari hal itu, semestinya pemerintah membuka akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk memberikan masukan dalam proses penanganan Covid-19 ini.
“Namun, alih-alih dilaksanakan, Moeldoko selaku bagian dari pemerintahan justru menutup celah tersebut dengan mengedepankan langkah hukum ketika merespon kritik dari ICW,” ujarnya.
Baca Juga: Juliari Dituntut 11 Tahun Bui, ICW: Pimpinan KPK Cuma Sesumbar akan Hukum Berat Koruptor Bansos
“Padahal, penelitian ICW masih bertalian dengan konteks terkini, yaitu upaya pencegahan korupsi di sektor farmasi,” lanjut Asep.
Menyikapi langkah Moeldoko, Asep menambahkan setidaknya ada dua isu yang tampak oleh masyarakat.
Pertama, upaya pemberangusan nilai demokrasi dan kedua melanggengkan praktik kriminalisasi terhadap organisasi masyarakat sipil.
“Merujuk data SAFENet, dalam kurun waktu 12 tahun terakhir, kriminalisasi menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik banyak menyasar masyarakat dari berbagai kalangan, misalnya: aktivis, jurnalis, hingga akademisi,” kata Asep.
“Mirisnya, mayoritas pelapor justru pejabat publik. Ini menandakan belum ada kesadaran penuh dari para pejabat dan elit untuk membendung aktivitas kriminalisasi tersebut, guna mendorong terciptanya demokrasi yang sehat di Indonesia,” tutup Asep.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.