JAKARTA, KOMPAS.TV - Busyro Muqoddas mengatakan bahwa 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibebastugaskan merupakan bagian dari rangkaian upaya menamatkan KPK.
Lebih lanjut, mantan pimpinan KPK itu menilai, rangkaian upaya menamatkan KPK dari revisi Undang-Undang KPK hingga penonaktifan 75 pegawai, tidak lepas dari kepentingan politik 2024.
Namun, Busyro tidak menyebut secara gamblang kepentingan politik siapa atau pihak mana yang ia maksudkan.
Baca Juga: Novel Baswedan Apresiasi Presiden Jokowi Atas Sikapnya Terkait 75 Pegawai KPK yang Tak Lolos TWK
“Marilah kita konstruksikan atau tidak lepas dari konstruksi yang terkait dengan kepentingan politik," ujarnya dalam Konferensi Pers Virtual: Menelisik Pelemahan KPK melalui Pemberhentian 75 Pegawai, seperti disiarkan Channel Youtube Sahabat ICW, Senin (17/5/2021), sebagaimana dikutip Tribunnews.com.
"Kepentingan politik apa? Kepentingan politiknya itu adalah yang terkait dengan Pemilu 2024 yang akan datang,” sambung Busyro.
Bukan tanpa alasan, lanjut Busyro, Pemilu 2024 akan memerlukan banyak sekali dana.
Dan satu-satunya lembaga yang paling dikhawatirkan akan sangat mengganggu adalah KPK.
“KPK dengan UU yang lama itu sangat mengganggu. Maka dalam logika politik seperti itu, KPK wajib dilumpuhkan, wajib ditamatkan riwayatnya,” ucapnya.
Konstruksi menamatkan KPK itu, kata dia, dimulai dari revisi UU 30/2002 menjadi UU 19/2019.
“Kasus TWK ini tidak bisa dilepaskan dengan tahapan pertama, yaitu revisi Undang-undang KPK. Kemudian diikuti revisi Undang-Undang Minerba, revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, dan kemudian dilanjutkan dengan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja," jelasnya.
“Dari rangkaian-rangkaian ini, kesimpulan besar saya adalah fakta dan gejala-gejala itu menggambarkan pemerintah itu memang terindikasi tidak lagi melemahkan, tetapi berusaha untuk menamatkan riwayat KPK,” imbuh Busyro.
Baca Juga: Jokowi: Tes Kebangsaan Bukan untuk Pecat Pegawai KPK
Dia mengatakan, upaya untuk menamatkan KPK itu sebenarnya sudah dimulai pada pemerintahan sebelum Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Cuma Presiden sebelumnya itu akhirnya mendengar dan melakukan sikap menyetop revisi UU KPK,” ujarnya.
Namun, di era Presiden Jokowi, revisi UU KPK, kata dia, berhasil tuntas.
“Kalau revisi UU KPK itu merupakan amputasi politik terhadap KPK, eh ternyata itu tidak cukup. Sisa-sisa pertahanan terakhir orang-orang yang militan dalam arti positif itu dimasukkan kategori 75 orang ini," bebernya.
"Pertahanan terakhir ini ada di tangan 75 ini,” sambungnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.