Kompas TV nasional hukum

Mahfud MD Kembali Bicara Restorative Justice: Hukum Bukan Sekadar Menang Kalah

Kompas.tv - 7 April 2021, 06:00 WIB
mahfud-md-kembali-bicara-restorative-justice-hukum-bukan-sekadar-menang-kalah
Menkopolhukam Mahfud MD saat konferensi pers terkait aksi terorisme bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar, Minggu (28/3/2021) sore. (Sumber: KompasTV)
Penulis : Iman Firdaus

JAKARTA, KOMPAS.TV-  Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan  Mahfud MD kembali  mengingatkan bahwa dalam penegakan hukum terdapat pendekatan yang disebut restorative justice. Pendekatan ini diyakini bisa membuat penegakan hukum di Indonesia lebih efisien untuk kasus-kasus tertentu.

“Restorative justice adalah pendekatan dalam penegakan hukum pidana yang mengusahakan penyelesaian secara damai dengan menjadikan hukum sebagai pembangun harmoni,” kata Mahfud MD saat bicara dalam Rapat Kerja Teknis Bareskrim Polri Tahun Anggaran 2021 di Aula Serbaguna Bareskrim, Senin (5/4/2021).


Dalam pendekatan restorative justice, hukum bukan sekadar mencari menang dan kalah, dan bukan sekadar untuk menghukum pelaku. Pendekatan ini hadir dengan maksud membangun kondisi keadilan dan keseimbangan antara pelaku kejahatan, korban kejahatan, dan masyarakat luas.

Baca Juga: Markaz Syariah Rizieq Shihab Disomasi,  Mantan Ketua DPR Marzuki Alie Kirim WA ke MahfudMD

Manfaat dari pendekatan ini, kata Mahfud MD, selain muncul efisiensi penanganan hukum karena tidak akan terlalu banyak perkara yang masuk ke pengadilan, juga bermanfaat untuk menangkal gejolak sosial politik dalam rangka menjaga harmoni dan keamanan serta ketertiban masyarakat.

Namun, tidak setiap perkara melawan hukum bisa diselesaikan dengan pendekatan restorative justice. “Tak semua diselesaikan  secara rembuk, tidak boleh. Tapi yang menyangkut tindak pidana ringan,” katanya.


Dalam pelaksanaanya, restorative justice diutamakan diterapkan untuk tindak pidana ringan (Tipiring), delik aduan, pidana yang dilakukan oleh anak-anak, perempuan, korban penyalahgunaan narkoba yang masih dalam tahap tertentu, dan perkara yang bukan kejahatan besar.

“Kalau korupsi, enggak bisa dinegosiasikan. Kalau di Surat Edaran Kapolri terbaru itu, rasialisme, SARA, terorisme, enggak ada negosiasi, enggak ada restorative justice,” tambahnya. 

Baca Juga: Pemerintah Dituding Lambat Putuskan Hasil KLB Partai Demokrat, Ini Jawaban Mahfud MD

Mahfud pernah mendiskusikan hal ini dengan Kabareskrim bahwa  penerapan restorative justice sudah diterapkan  pada para korban narkoba. Hukuman pidana itu adalah jalan terakhir dalam restorative justice.

Bahkan, pendekatan restorative justice ini pun sudah ada landasan hukumnya. Restorative justice bisa ditemukan dalam delapan bentuk produk hukum dari Mahkamah Agung. Antara lain tiga Perma, satu Surat Edaran MA, dan satu Surat Edaran Ketua MA.

“Di tingkat MA sudah ada pengaturannya, sudah ada arahannya, bahwa restorative justice itu penting untuk pidana-pidana tertentu,” jelasnya.


Di lingkungan Kejaksaan Agung pun ada aturannya. Tepatnya adalah Surat Keputusan Dirjen Badan Peradilan Umum nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pedoman Penerapan Restorative Justice di Lingkungan Peradilan.

Sementara di kepolisian  sudah mengeluarkan surat edaran (SE) Kapolri nomor SE/2/II/2021 tanggal 19 Februari 2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif.

SE ini menekankan pentingnya penerapan restorative justice dalam kasus-kasus UU ITE. Kecuali perkara terkait UU ITE yang berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme, separatisme, dan tindak pidana yang tergolong berat.

Intinya, untuk kasus-kasus tertentu seperti delik aduan dan tindak pidana ringan, kepolisian diarahkan untuk tidak cepat-cepat memproses pelaporan/pengaduan tersebut ke tingkat penyidikan. Melainkan agar diusahakan pertemuan para pelapor dan terlapor, pengadu dan teradu, untuk damai atau menyelesaikan masalah di luar pengadilan.

Mahfud MD menyebut, semangat restorative justice di lingkungan Polri bahkan sudah lama tumbuh. Misalnya dengan mendamaikan orang yang terlibat dalam dugaan ujaran kebencian (hate speech) atau menyelesaikan pencurian kecil -semisal mencuri sandal atau mencuri buah- di luar pengadilan.

“Dalam SE/6/X/2015 tentang penanganan ujaran kebencian, ada ketentuan yang berbunyi: Mempertemukan pelaku dan korban ujaran kebencian, dan mencari solusi perdamaian,” katanya.

Mahfud MD menyebut beberapa contoh kasus yang sebenarnya layak diselesaikan dengan pendekatan restorative justice. Antara lain pencurian tiga buah kakao oleh seorang wanita bernama Mbok Minah, dan kasus seorang ibu di Tapanuli yang dilaporkan ke polisi oleh putrinya sendiri karena memetik jagung di kebun putrinya  karena lapar.


 




Sumber : Kompas TV




BERITA LAINNYA



FOLLOW US




Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.


VIDEO TERPOPULER

Close Ads x