JAKARTA, KOMPAS.TV- Buku "Pemberontakan Petani Banten 1888" oleh sejarawan Profesor Sartono Kartodirjo, yang hari ini satu abad (lahir 15 Februari 1921), merupakan karya fenomenal sejarawan Indonesia.
Buku yang merupakan tesis dengan judul "The Peasant's Revolt of Bantam in 1888.Its Condition. Course and sequel: A Case Study of Social Movements in Indonesia," merupakan tesis Sartono di Departemen of Sociology and Modern History of Southeast Asia, Universiteit Amsterdam, Belanda pada tahun 1966. Tesis ini meraih predikat cum laude dengan promotor Profesor W.F. Wertheim.
Karya ini memaparkan sejarah pemberontakan di Cilegon dan sekitarnya pada tanggal 9-3 Juli 1888. Dalam studi disebutkan, Banten adalah daerah yang sejak dulu senantiasa akrab dengan kerusuhan. "Studi ini menyoroti gerakan-gerakan pemberontakan di daerah yang sejak dulu merupakan daerah yang paling rusuh di Pulau Jawa, yakni Banten," tulis Sartono pada bagian pertama tesisnya.
Baca Juga: Petani Banten Ungkap Cara Membedakan Madu Asli dengan yang Palsu
Pemberontakan petani Banten 1888, dilatarbelakangi oleh konflik tanah, pemerasan tenaga kerja, wabah penyakit dan bencana. Namun, konflik kemudian melebar pada isu agama karena beberapa pemimpin pemberontakan juga dikenal sebagai ulama dan haji.
"Perlu dikemukakan bahwa seluruh daerah itu telah sangat menderita akibat bencana-bencana fisik yang silih berganti melanda dalam tahun-tahun sebelum pemberontakan. Wabah penyakit ternak dalam tahun 1879 telah menurunkan jumlah seluruh ternak.."
Bukan hanya itu, pada tahun berikutnya muncul wabah demam yang menyebabkan lebih dari sepuluh persen penduduk meninggal dunia. "Akibatnya, satu musim kelaparan yang gawat tak dapat dielakan lagi," begitu gambaran awal sebelum pemberontakan terjadi.
Baca Juga: Polda Banten Bongkar Kasus Mafia Tanah Senilai Rp 4 Miliar, Dalangnya Ternyata Kades
Dan ketika hari pemberontakan tiba, tak banyak pejabat pribumi dan kolonial Belanda yang menduga bakal terjadi. Sebab, para pemimpin pemberontakan sebenarnya hanyalah tokoh agama yang rajin mengadakan sembahyang dan zikir bersama-sama. Namun perkumpulan tarekat justeru menjadi ajang kampanye terhadap kekecewaan rakyat.
Salah satu tokohnya adalah Haji Abdul Karim, ulama besar dan orang yang disucikan di mata rakyat. Menurut anggapan umum, dia adalah wali Allah yang dianugerahi berkah karena itu disebut keramat.
Haji Abdul Karim memiliki sejumlah murid yang memainkan peran penting dalam pemberontakan, yaitu Haji Sangadeli, Haji Asnawi, Haji Abubakar, Haji Tubagus Ismail dan Haji Marjuki.
Pemberontakan dimulai pada 9 Juli dari Cilegon, tempat tinggal para pejabat pamongpraja, Eropa dan Pribumi, yakni asisten residen, kontrolir muda, patih, wedana, jaksa, asisten wedana, ajun kolektor, kepala penjualan garam dan para pejabat lainnya di bawah birokrasi kolonial.
Baca Juga: Mengenang 10 Tahun Penyerangan Berdarah Jemaat Ahmadiyah Cikeusik Banten
Dari Cilegon pemberontakan melebar ke Anyer dan serang. Untuk memadamkan pemberontakan sampai harus dikirim tambahan pasukan dari Batavia dan ekspedisi militer ke berbagai jurusan. Ekspediri militer tersebut untuk memamerkan kekuatan dan melakukan penangkapan-penangkapan.
Setelah pemberontakan berhasil dilumpuhkan, pemerintah kolonial Belanda kemudian melakukan banyak evaluasi dalam menjalankan roda pemerintahan di sana. Salah satu yang dikemukakan adalah adanya intrik dan persengketaan anggota priayi Banten yang tidak segan menggunakan cara-cara melawan hukum atau tidak terhormat. Sementara pemerintah Belanda tutup mata atas perilaku licik pejabat tinggi pribumi tersebut.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.