JAKARTA, KOMPAS.TV- Joining Forces to End Violence Against Children (IJF EVAC) menentang segala tindakan yang mempromosikan perkawinan anak. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional Maret 2018, 94% Anak perempuan dan 91% anak laki–laki yang dikawinkan putus sekolah.
Demikian CEO Save the Children Indonesia sekaligus Ketua IJF EVAC, Selina Patta Sumbung dalam keterangan tertulisnya, Jumat (12/2/2021).
“Perkawinan anak adalah bentuk kekerasan terhadap anak. Kami ingin menekankan lagi kepada pelaku usaha, orangtua dan seluruh elemen masyarakat bahwa isu ini bukan hanya soal perkawinan, tetapi perampasan hak – hak anak akan kelangsungan hidup, tumbuh kembang, perlindungan dan partisipasi,” tegasnya.
Baca Juga: 3 Sikap Jaringan Gusdurian Indonesia Terkait Aisha Weddings
Selina mengatakan, berdasar data WHO yang diterbitkan tahun 2016, menjabarkan anak yang dikawinkan kemungkinan besar akan hamil dan melahirkan anak, yang berisiko besar bagi kesehatan mereka. Komplikasi saat kehamilan dan persalinan adalah penyebab utama kematian bagi anak perempuan berusia 15-19 tahun di seluruh dunia. Atas dasar itu, IJF EVAC mendorong proses hukum organisasi atau lembaga yang terbukti mempromosikan perkawinan anak.
“Termasuk mendorong penerapan pasal-pasal pencabutan kuasa asuh orangtua sesuai Undang-undang Perlindungan Anak karena mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak merupakan salah satu kewajiban dan tanggung jawab orangtua (Pasal 26(1)),” ujarnya.
Baca Juga: Pendiri Drone Emprit Curiga Aisha Weddings Dibuat Terburu-Buru demi Misi Tertentu
Selina lebih lanjut menuturkan promosi perkawinan anak yang dilakukan oleh Aisha Weddings merefleksikan fenomena “gunung es” perkawinan anak di Indonesia. Data Hasil SUSENAS tentang Perkawinan Anak tahun 2018 memperkirakan terdapat 1.220.900 anak perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun. Data ini menempatkan Indonesia di peringkat ke delapan di dunia dengan angka absolut perkawinan anak tertinggi di dunia.
“Maka itu kami minta pemerintah memperkuat koordinasi lintas sektor untuk dukungan terhadap keluarga dan anak yang rentan sebagai komponen perlindungan sosial. Khususnya bantuan untuk anak-anak yang telah menjadi korban perkawinan anak. Lalu, memperbanyak kampanye anti perkawinan anak di tingkat komunitas local. Termasuk, memperkuat resiliensi anak agar anak mampu mengambil keputusan yang tepat dalam hidupnya tanpa ada tekanan dari orang tua, keluarga, dan masyarakat,” jelasnya.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.