JAKARTA, KOMPAS.TV- Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari KONTRAS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan, Institute Perempuan, LBH Masyarakat (LBHM), Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesa), PSHK (Pusat Studi Hukum & Kebijakan), SAFENET (Southeast Asia Freedom of Expression Network), YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), YPII (Yayasan Perlindungan Insani Indonesia) mempertanyakan dasar hukum pembubaran Front Pembela Islam (FPI) pada Rabu (30/12/2020).
Menurut Koalisi Masyarakat Sipil, kekerasan oleh siapapun perlu diadili, tetapi tidak serta merta organisasinya dinyatakan terlarang melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak melanggar hukum.
Narasi yang menganjurkan kekerasan dan provokasi kebencian sebagaimana dipertontonkan organisasi seperti FPI selayaknya ditindak tegas tanpa mengabaikan prinsip negara hukum
Baca Juga: Soal Pelarangan FPI, Sosiolog: Pemerintah Perlu Antisipasi Konflik!
"Penggunaan simbol dan atribut, serta penghentian kegiatan FPI bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, khususnya terkait kebebasan berkumpul dan berserikat," demikian bunyi rilis Koalisi Masyarakat Sipil, Rabu (30/12/2020) .
Pelarangan FPI salah satunya didasarkan pada UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 16 Tahun 2017, yang secara konseptual juga sangat bermasalah dari perspektif negara hukum.
Menurut Koalisi Masyarakat Sipil, undang-undang Ormas memungkinkan pemerintah untuk membubarkan organisasi secara sepihak tanpa melalui proses peradilan (due process of law).
Namun, ada permasalahan dalam SKB tersebut, yaitu, pernyataan bahwa organisasi yang tidak memperpanjang atau tidak memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT), dalam hal ini Front Pembela Islam (FPI) sebagai organisasi yang secara de jure bubar, tidaklah tepat.
Baca Juga: Pemerintah: FPI Langgar Berbagai Ketentuan UU Ormas!
Sebab Mahkamah Konstitusi (MK) sudah memutuskan dalam No. 82/PUU-XI/2013 bahwa Pasal 16 ayat (3) dan Pasal 18 UU Ormas, yang mewajibkan organisasi memiliki SKT, bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam bagian pertimbangan putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi bahkan menyatakan: “berdasarkan prinsip kebebasan berkumpul dan berserikat, suatu Ormas yang tidak mendaftarkan diri pada instansi pemerintah yang berwenang tidak mendapatkan pelayanan dari pemerintah (negara), tetapi negara tidak dapat menetapkan Ormas tersebut sebagai Ormas terlarang, atau negara juga tidak dapat melarang kegiatan Ormas tersebut sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban umum, atau melakukan pelanggaran hukum”.
"Oleh karena itu FPI tidak dapat dinyatakan bubar secara de jure hanya atas dasar tidak memperpanjang SKT, maka pelarangan terhadap kegiatan serta penggunaan simbol dan atribut FPI pun tidak memiliki dasar hukum," begitu tambah Koalisi Masyarakat Sipil.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.