JAKARTA, KOMPAS.TV - Tindakan represif yang diterima para pengunjuk rasa Undang-Undang Cipta Kerja beberapa waktu lalu, dinilai tidak sepenuhnya kesalahan aparat kepolisian. Termasuk tindakan kekerasan kepolisian terhadap jurnalis yang tengah meliput.
Pernyataan tersebut diungkap oleh Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti saat dihubungi, Minggu (11/10/2020), dikutip dari Tribunnews.
"Adanya korban luka dari pengunjuk rasa, jurnalis dan bahkan dari pihak kepolisian sendiri harus dilihat kasus per kasus."
"Tidak fair jika yang disalahkan semata-mata polisi. Harus dilihat dengan komprehensif tentang demonstrasi, terjadinya aksi-aksi anarkis dan tindakan penegakan hukum yang dilakukan Polri," tutur Poengky.
Polisi, menurut Poengky, berwenang melakukan kekerasan dan menangkap orang-orang yang bertindak anarkistis dalam unjuk rasa. Poengky mencontohkan kejadian di Pejompongan.
"Di situ jelas tindakan penyerangan yang dilakukan demonstran dengan merusak mobil polisi dan menyerang aparat," katanya.
Baca Juga: Bentrok Pecah Lagi di Harmoni, Massa Dekati Istana, Polisi Tembak Gas Air Mata
Maka berdasarkan Protap Anti Anarki, anggota Polri berwenang menggunakan kekerasan guna penegakan hukum. "Karena dalam konteks itu polisi adalah sebagai penegak hukum," jelas Poengky.
Tahapan Protap Anti Anarki diterapkan setelah peringatan dari kepolisian diabaikan pedemo.
Tahapannya yakni, kendali tangan kosong, kendali senjata tumpul, senjata kimia gas air mata, hingga penggunaan senjata api. Penggunaan senjata api, kata Poengky, diterapkan jika dapat mengakibatkan luka parah atau kematian anggota Polri atau masyarakat.
Dalam aksi unjuk rasa beberapa waktu lalu itu, menurut Poengky, sejatinya polisi telah melakukan tindak pengamanan sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP). Situasi pun cenderung kondusif.
"Tetapi ada kelompok yang memancing dan memprovokasi massa sehingga aksi menjadi anarkis," kata Poengky.
Sikap anarkis ini, disebut Poengky, seperti penyerangan terhadap aparat kepolisian, kendaraan polisi, dan pos polisi.
"Jika demonstrasi berjalan tertib sesuai aturan hukum, maka tidak mungkin aparat kepolisian membubarkan demonstrasi," ujarnya.
Baca Juga: Ombudsman Cium Maladministrasi Penanganan Pedemo UU Cipta Kerja
Ribuan Pengunjuk Rasa Ditangkap Polri
Setidaknya 3.500 pendemo Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (UU Cipta Kerja) dari seluruh Indonesia ditangkap aparat kepolisian.
Penangkapan para pendemo ini terkait kerusuhan yang mereka perbuat saat berdemonstrasi pada Kamis (8/10/2020) kemarin.
Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Argo Yuwono para pendemo ini berasal dari berbagai kota di Indonesia yang menggelar unjuk rasa.
"Jadi kami sampaikan bahwa beberapa orang diamankan yang terindikasi (melakukan perusakan)," kata Argo dalam konferensi pers di Mabes Polri, Jumat (9/10/2020).
Rinciannya sebagai berikut.
796 orang berasal dari kelompok Anarko di Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, dan Kalimantan Barat.
601 orang masyarakat umum.
1.548 merupakan pelajar di Sulawesi Selatan, DKI Jakarta, Sumatera Utara, dan Kalimantan Tengah.
443 mahasiswa di Sulawesi Selatan, DKI Jakarta, Sumatera Utara, Sulawesi Tenggara, Sumatera Utara, Papua Barat, dan Kalimantan Tengah.
114 orang (status belum jelas) di DKI Jakarta dan Sumatera Utara.
55 orang pengangguran di Sulawesi Utara dan Sumatera Utara.
Baca Juga: Keterangan Sudah Didapat, Polisi Kejar Aktor di Balik Perusuh Demo Tolak UU Cipta Kerja
"Semua melakukan unjuk rasa dengan sasaran kantor DPR di wilayah provinsi masing-masing," kata Argo.
Aparat kepolisian di masing-masing wilayah hukum masih melakukan pemeriksaan terhadap para pendemo yang terindikasi melakukan perusakan.
Untuk para pendemo yang masih pelajar dan anak-anak pihak kepolisian memanggil orang tua masing-masing.
Sementara untuk yang di luar pelajar dan anak-anak, polisi akan mengumpulkan barang bukti yang ada. "Kalau menemukan, pelaku akan diajukan ke pengadilan," kata Argo.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.