JAKARTA, KOMPAS.TV - Pro kontra sejarah Gerakan 30 September dan Hari Kesaktian Pancasila membuat Ketua Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM, Agus Wahyudi, angkat bicara.
Agus Wahyudi mengusulkan penulisan ulang sejarah Gerakan 30 September mengingat ada kemungkinan informasi sejarah yang diterima masyarakat selama ini terkait dengan kepentingan penguasa di masa lalu.
“Penulisan ini harus melalui riset mendalam dari kalangan akademisi dan sejarawan,” ujarnya, Senin (5/10/2020).
Menurut Agus, jika penulisan sebuah peristiwa sejarah bersumber dan terbuka untuk mendapatkan ujian atau validasi dari sumber yang beragam pada pusat-pusat riset dan pengkajian ilmiah, maka bisa mendapatkan kebenaran yang sesungguhnya.
Ia mengungkapkan hal ini tidak hanya berlaku dalam bidang sejarah, melainkan juga dalam upaya pencarian kebenaran pada umumnya dalam tradisi ilmu pengetahuan.
Sementara, pendekatan ilmiah dan kajian untuk kontroversi Gerakan 30 September harus sesuai standar mutu tinggi di masyarakat kampus dan lembaga riset yang menangani isu tersebut.
“Buku pelajaran sekolah dan kebijakan politik negara kelak perlu merujuk pada hasil riset dan pekerjaan ilmiah yang menggunakan standar yang diakui itu,” ucapnya.
Ia bahkan merasa optimistis jika kontroversi sebuah isu tertentu akan bisa merangsang partisipasi dan keterlibatan publik yang lebih luas serta mendorong kedewasaan.
Syaratnya, perkembangan narasi itu tidak direkayasa, seperti mobilisasi pendukung dengan menggunakan kekuatan uang atau kekuasaan, termasuk ancaman pemaksaan terhadap posisi atau pendapat yang berbeda.
Agus juga menilai Hari Kesaktian Pancasila yang diperingati setiap 1 Oktober tidak ada hubungannya dengan Pancasila.
Pemakaian Pancasila dalam peristiwa pembunuhan para jenderal dan merupakan titik hitam dalam sejarah justru menunjukkan bagaimana penguasa telah menyalahgunakan Pancasila demi kekuasaan.
Sebab, peristiwa pembunuhan para jenderal dan kejadiannya sesudahnya dengan ribuan nyawa anak bangsa Indonesia terbunuh oleh sesama bangsa sendiri, menunjukkan bagaimana sekelompok orang menggunakan Pancasila demi tujuan politiknya.
"Akhirnya hanya mewariskan dendam dan permusuhan yang berlarut-larut di kalangan generasi penerus," tuturnya.
Terkait isu yang dilontarkan kelompok tertentu mengenai kebangkitan PKI, Agus berpendapat hal itu tidak lepas dari kepentingan politik.
Alasannya, mengawetkan memori termasuk ketakutan merupakan cara menjaga hegemoi dan menjadi peluang untuk mengontrol perilaku.
(Switzy Sabandar)
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.