JAKARTA, KOMPAS.TV - Seorang anak eksekutor PKI di Kabupaten Blitar, melakukan upaya rekonsiliasi dengan keluarga serta korban tragedi G 30 S PKI.
Usaha keras dan ketulusannya, membuahkan hasil perdamaian, dan kini antara keluarga eksekutor dan keluarga korban tragedi itu mampu hidup berdampingan sampai saat ini.
Penumpasan anggota PKI dan simpatisan di wilayah blitar selatan melalui operasi militer trisula pada tahun 1968, menjadi salah satu tragedi kelam bangsa indonesia.
5.000 anggota TNI AD dan Organisasi Sipil dikerahkan dalam operasi itu salah satunya Eksekutor Hasyim Asyari, seorang pemuda ansor dari Desa Bacem, Kecamatan Sutojayan Kabupaten Blitar.
Pedang inilah, yang digunakan Hasyim Asyari untuki menghabisi para warga yang dituduh sebagai PKI. Pedang itu juga masih disimpan utuh oleh anaknya, farida masrurin.
Kini Farida menanggung stigma sebagai eksekutor PKI.
Rasa bersalah terhadap sang ayah, membuat Farida melakukan rekonsiliasi pada korban dan keluarga tahanan politik traqgedi 1968.
Satu per satu rumah korban tragedi PKI didatangi. Dia meminta maaf dan tidak ingin mewarisi rasa dendam, baik keluarga farida dan keluarga korban penyintas tragedi 1968.
Salah satu korban tragedi 68, markus talam, telah memaafkan semua perbuatan para eksekutor, yang menumpas teman-temannya.
Pria 81 tahun tersebut masih ingat betul, betapa mengerikannya tragedi trisula, yang mengakibatkan ratusan nyawa melayang.
Pada waktu itu, ia yang tergabung dalam organisasi Sarbuksi, atau Sarekat Buruh Kehutanan Seluruh Indonesia, tidak tahu menahu soal PKI.
Namun tak disangka, organisasi yang diikutinya tersebut, merupakan afisiliasi dengan PKI.
Tidak hanya Markus Talam, Muhammad Khusni, pria 48 tahun memilih melupakan semua peristiwa kelam, yang menimpa ayahnya.
Ia memilih berdamai dengan Farida, dan masuk ke salah satu organisasi keagamaan, untuk membaur dengan masyarakat.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.