JAKARTA, KOMPAS.TV - Saat memberikan keterangan sebagai saksi pemohon dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji formil UU nomor 19 tahun 2019 tentang perubahan kedua atas UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK, Novel Baswedan menyatakan bahwa KPK lahir dari adanya reformasi dan diamanatkan dalam TAP MPR Nomor 8.
"Artinya ketika ada semua hal terkait pelemahan KPK pastilah itu harus dipandang sebagai pengingkaran amanat reformasi," kata Novel Baswedan di Jakarta, Rabu (23/9/2020).
Baca Juga: Novel Baswedan Sembuh dari Corona, Begini Metode Penyembuhannya!
Penyidik senior ini berharap kepada MK agar dapat mencegah pelemahan terhadap KPK akibat revisi UU KPK itu.
Sebab, revisi UU KPK itu sangat berdampak pada kinerja KPK.
Dalam keterangannya di persidangan itu Novel menekankan empat hal, yakni penyadapan, penggeledahan, penyitaan dan penghentian penyidikan serta penuntutan.
Menurut Novel, KPK memang tidak memerlukan izin manapun untuk melakukan penyadapan berdasarkan UU yang lama.
"Hal ini bukan berarti tidak ada pengawasan karena proses tersebut dilakukan dengan berjenjang," tutur Novel.
Dia mengatakan, penyadapan dilakukan mulai dari penyelidikan, penyidikan atau penuntutan.
Penyadapan juga dilakukan dengan pengajuan fungsional pada struktur dan direktur yang disampaikan kepada deputi dan pimpinan untuk mendapat persetujuan.
Sedangkan dalam UU baru KPK ditentukan bahwa perlu disetujui atau tidak izin dari dewan pengawas untuk melakukan penyadapan.
Nah, proses ini membuat penyadapan menjadi semakin panjang karena tidak bisa dilakukan dalam tempo singkat.
Baca Juga: Novel Ungkap Banyak Penegak Hukum Punya Harta Berlimpah karena Jual Perkara dan Gadaikan Kewenangan
"Padahal ketika ditemukan (tindak pidana korupsi), dibutuhkan tindakan yang cepat dan segera. Sedangkan kalau proses tidak dilakukan segera ini berpotensi menghilangkan alat bukti dan ini beberapa kali terjadi," kata Novel.
Ia pun mengatakan, UU KPK baru itu melemahkan proses penegakan hukum yang dilakukan KPK.
UU hasil revisi itu juga tidak menjamin akuntabilitas, misalnya dalam hal wewenang menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan atau penuntutan.
"Dibandingkan dengan penegak hukum lain, KPK lebih tidak berdaya karena tidak bisa melakukan tindakan dalam keadaan mendesak. Ini ironi ketika korupsi dipandang sebagai kejahatan luar biasa," katanya.
Novel menambahkan, KPK kehilangan kemampuan untuk mendeteksi korupsi dengan cepat karena penyadapan harus seizin Dewan Pengawas.
KPK juga tidak leluasa dalam penindakan karena penggeledahan dan penyitaan mesti disetujui pula oleh Dewan Pengawas.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.