JAKARTA, KOMPAS TV - Ketua Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia, Ahmad Taufan Damanik, mengatakan polisi sering menggunakan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dalam memproses hukum kasus penodaan agama.
Baca Juga: Dilaporkan Terkait Dugaan Penistaan Agama, Apa Langkah PSI?
Selain itu, Surat Edaran Kapolri No. SE/6/X/2015 tentang penanganan Ujaran Kebencian juga kerap dijadikan acuan penegak hukum untuk memproses persoalan yang berkaitan dengan agama.
Padahal, kata Taufan, regulasi terkait persoalan agama sudah diatur dalam Pasal 156 a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Karena itu, semestinya polisi menggunakan aturan tersebut.
"Jadi, kadang-kadang enggak jelas batasannya. Untuk kasus tertentu dianggap sebagai penodaan agama, untuk kasus lain tidak," kata Taufan dikutip dari Kompas.com pada Jumat (21/8/2020).
"Ada unsur diskriminasi juga, terutama antara mayoritas dan minoritas."
Menurut Taufan, kasus penodaan agama kerap menimbulkan persoalan besar yang tidak jelas batasannya.
Sebab, definisi penodaan agama cenderung memuat unsur diskriminatif terhadap minoritas.
Baca Juga: Dua Pelaporan Terhadap Sukmawati ke Polisi Dugaan Penistaan Agama
Sebagai contoh yang pernah terjadi di negeri ini dan menjadi perhatian nasional bahkan internasional, adalah kasus penodaan agama mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
“Kasus Ahok itu luar biasa. Sampai hari ini tidak selesai-selesai. Di internasional orang masih bertanya-tanya bagaimana kasus Ahok itu,” kata Taufan.
“Seolah-olah kita begitu kelamnya hanya gara-gara kasus itu."
Taufan menyebut, jika kasus penodaan agama terjadi di Jawa dan Sumatera dan itu dilakukan oleh mayoritas, maka yang bersangkutan akan selamat dari sebuah delik.
Baca Juga: Pengakuan Ahok Saat Harus Dipenjara karena Penistaan Agama, Terpikir Mau Pindah Warga Negara
Namun berbeda jika yang melakukan adalah minoritas, kata Taufan, dia akan terkena delik penodaan agama.
Sebaliknya, di NTT kalau penodaan agama dilakukan oleh mayoritas, dia akan mengalami nasib yang sama seperti minoritas di Jawa dan Sumatera.
Oleh karena itu, Komnas HAM menyarankan agar dilakukan pengkajian ulang terhadap semua regulasi, terutama yang berpotensi mengganggu hubungan sosial dan kemerdekaan individu agar tercipta suasana demokrasi.
"Kita tidak mampu merumuskan apa sebenarnya problem kita. Kita punya berbagai regulasi yang sebetulnya banyak menimbulkan masalah,” kata Taufan.
Baca Juga: Komnas HAM: Kasus Ahok Itu Luar Biasa, Sampai Hari Ini Tak Selesai, di Internasional Orang Bertanya
“Kalau dibiarkan terus, distrust sosial semakin tinggi."
Menurut Taufan, terkadang para ahli atau penegak hukum tidak menyadari, apa yang disebut sebagai bangsa mengalami kelunturan dalam hubungan-hubungan akrab dengan sesama anak bangsa.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.