Setahun kemudian atau pada Maret 2019, Veronica juga pulang ke Indonesia setalah mengunjungi Swiss untuk berbicara di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Selanjutnya, Veroica mengaku memberi bantuan hukum pro-bono kepada para aktivis Papua di tiga pengadilan berbeda di Timika, Papua.
Menurut Veonica hukuman finansial yang ditujukan kepadanya menunjukkan Kemenkeu telah mengabaikan fakta, bahwa dirinya sempat kembali ke Indonesia setelah lulus masa studi.
Selain itu, kata dia, pemerintah juga mengabaikan fakta bahwa dirinya telah menunjukkan keinginan kembali ke Indonesia. Namun, dengan catatan bebas dari segala tuduhan dan ancaman.
Lebih lanjut, Veronica mengatakan, dirinya tercatat dan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) pada Agustus 2019.
Kala itu, ia memanfaatkan visa tiga bulan saat tengah berada di Australia untuk menghadiri prosesi wisuda.
"Ketika berada di Australia pada Agustus 2019, saya dipanggil oleh kepolisian Indonesia. Saya ditempatkan dalam daftar pencarian orang (DPO) pada September 2019," katanya.
Mendapat status sebagai DPO, tak membuat Veronica diam. Veronica mengaku tetap bersuara untuk melawan narasi yang dibuat aparat ketika internet dimatikan di Papua.
“Saya waktu itu tetap memposting foto dan video ribuan orang Papua yang masih turun ke jalan mengecam rasisme dan meminta referendum penentuan nasib sendiri," ujar dia.
Karena itu, Veonica menuliskan sebuah surat yang ditujukan kepada Kementerian Kuangan, terutama Sri Mulyani agar bersikap adil dan netral.
“Melalui surat ini, saya meminta kepada Kemenkeu terutama Menteri Sri Mulyani untuk bersikap adil dan berdiri netral dalam melihat persoalan ini,” kata Veronica.
“Sehingga tidak menjadi bagian dari lembaga negara yang hendak menghukum saya karena kapasitas saya sebagai pengacara publik yang memberikan pembelaan HAM Papua."
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.