Meski tumbuh di daerah tandus, daun pohon ini tetap rimbun dan hijau. Pohon ini menjadi populer karena merupakan satu-satunya pohon besar yang tumbuh di daerah tersebut.
Melansir jurnal karya Muhajirin dari Fakultas Bahasa Seni Universitas Negeri Yogyakarta, pohon hayat telah dikenal oleh masyarakat dan kebudayaan Jawa sejak zaman Prasejarah, sebelum agama-agama masuk di pulau tersebut.
Pohon hayat disebut juga pohon kalpataru. Kalpataru berasal dari akar kata ‘kalp‘ yang berarti ‘ingin atau ‘keinginan‘, pada masa itu pohon tersebut dipercaya mengabulkan keinginan. Hal itu dilatarbelakangi paham animisme dan dinamisme yang masih kental.
Baik agama Hindu ataupun Budha yang dianut di Indonesia keduanya mengenal ‘pohon hayat’. Dalam agama Buddha, pohon hayat ini dikenal dengan nama ‘pohon Bodhi‘ yang dikaitkan dengan Pencerahan yang diterima Pangeran Sidharta.
Baca Juga: Desain Bertema Pohon Hayat Terpilih Jadi Logo IKN Nusantara, Ini Maknanya
Setelah agama Buddha masuk Indonesia, nama pohon itu dikaitkan dengan pohon Waringin yang berasal dari akar kata ‘ingin‘ dan mendapat awalan ‘war‘ (dalam bahasa Indonesia menjadi Beringin).
Adapun dalam agama Hindu, pohon ini dikenal dengan nama kalpataru, kalpawrksa, dan memiliki arti yang dengan pohon Waringin.
Pada zaman Jawa-Islam kepercayaan terhadap ‘pohon hayat’ telah mengalami perkembangan, mereka menggambarkan pohon ini dalam bentuk hiasan ‘Gunungan‘ yang merupakan bentuk lain dari kalpataru.
Hiasan semacam ini dapat dilihat di kompleks masjid dan makam Sunan Sendang dan juga pada pertunjukkan wayang.
Sampai sekarang sisa-sisa kepercayaan terhadap pohon hayat ini masih samar-samar, seperti yang tampak pada kepercayaan sebagian masyarakat Jawa pada ‘pohon waringin kurung’ yang terdapat di Alun-alun Kraton Yogyakarta, yaitu Kyai Janadaru dan Kyai Dewadaru yang konon melambangkan manunggaling kawula gusti (bersatunya hamba dan Tuhannya).
Sumber : uny,ac.id, lonelyplanet.com
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.