JAKARTA, KOMPAS.TV - Thrifting impor atau kegiatan berburu baju bekas hasil impor dari luar negeri kini menjadi perbincangan hangat. Terlebih sejak dicetuskannya larangan thrifting.
Tahun 2021 lalu, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan telah melarang impor pakaian bekas.
Larangan tersebut tertulis dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 18 Tahun 2021, tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.
Dalam Pasal 2 Ayat 3 tertulis bahwa barang dilarang impor, salah satunya adalah berupa kantong bekas, karung bekas, dan pakaian bekas.
Namun, nyatanya pelaku usaha yang menjual pakaian bekas impor semakin menjamur. Ini selaras dengan peminatnya yang semakin banyak, terlebih di kalangan anak muda.
Hingga akhirnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberi penegasan soal thrifting impor. Presiden menilai bisnis impor pakaian bekas sangat mengganggu industri tekstil dalam negeri.
Oleh karena itu, Jokowi meminta pelaku usaha pakaian bekas impor diawasi dan ditindak.
"Sudah saya perintahkan untuk mencari betul. Dan sehari, dua hari sudah banyak yang ketemu. Itu mengganggu industri tekstil di dalam negeri. Sangat mengganggu," ujar Jokowi di Istora Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, Rabu (15/3/2023).
"Yang namanya impor pakaian bekas, mengganggu. Sangat mengganggu industri dalam negeri kita," katanya lagi menegaskan.
Menurut kamus Cambridge, thrift berarti hati-hati dalam menggunakan uang, terutama untuk menghindari pemborosan. Simpelnya adalah hemat.
Baca Juga: Konsumen Thrifting Buka Suara soal Larangan Impor Baju Bekas: Lebih Murah, Kualitas Oke, Size Banyak
Gerakan thrifting atau belanja barang bekas sudah ada selama beberapa dekade yang lalu. Thrifting adalah berbelanja barang-barang bekas seperti pakaian, barang pecah belah dan furnitur dengan tujuan mendapat harga yang lebih murah.
Dewasa ini, thrifting lebih populer diartikan sebagai belanja pakaian bekas. Toko yang menjual ini disebut thrift store atau thrift shop.
Melansir ussfeed, Jumat (17/3/2023), kegiatan thrifting ini konon sudah ada sejak jaman revolusi industri. Berikut lini masa aktivitas thrifting:
Revolusi industri pada abad ke-19 yang mengenalkan dunia pada produksi pakaian massal mengubah cara pandang masyarakat saat itu tentang dunia fesyen.
Pada masa itu, pakaian sangat murah, sehingga masyarakat memiliki pemikiran bahwa pakaian adalah barang sekali pakai (sekali pakai, lalu dibuang).
Hal ini mengarahkan masyarakat menjadi sangat konsumtif dan barang-barang yang dibuang tersebut menjadi menumpuk. Barang-barang bekas inilah yang biasanya dipakai para imigran.
Saat itu, organisasi non-pemerintah atau NGO pertama, memfokuskan barang yang tidak terpakai tersebut sebagai donasi. Mereka mengeluarkan sebuah selter pada tahun 1897 yang bernama Salvage Brigade.
Sumber : ussfeed/cambridge/kompas.com
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.