Oleh: Mustakim, Jurnalis Kompas TV
Kementerian Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) akan menghidupkan kembali Tim Pemburu Koruptor (TPK).
Ide menghidupkan kembali TPK berawal dari kasus ‘lolosnya’ Djoko Tjandra. Pria yang kerap disebut Joker ini membuat geger. Pasalnya, terpidana kasus Bank Bali yang sudah menjadi buron sejak 2009 ini bisa wira wiri dan keluar masuk Indonesia dengan leluasa. Pria bernama lengkap Djoko Sugiarto Tjandra ini bahkan bisa membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik, paspor dan mengantongi Surat Jalan dari Mabes Polri.
Daur Ulang Barang Usang
Pemerintah dianggap kecolongan. Pasalnya, buronan kasus korupsi yang bertahun-tahun dicari justru terkesan difasilitasi. Sejumlah jenderal polisi diduga terlibat dalam kasus ini. Mereka dianggap memuluskan jalan buronan Kejaksaan Agung ini. Peran mereka bervariasi mulai dari membuat Surat Jalan hingga menghapus red notice atas nama Djoko Tjandra pada basis data Interpol.
Kapolri Jenderal Idham Azis telah mencopot tiga perwira tinggi yang diduga terlibat dalam kasus ini. Mereka adalah Kepala Divisi Hubungan Internasional Mabes Polri Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte, Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Mabes Polri Brigadir Jenderal Prasetyo Utomo, dan Sekretaris National Central Bureau (NCB) Interpol Indonesia Brigadir Jenderal Nugroho Slamet Wibowo.
Alih-alih ‘menertibkan’ Kepolisian dan institusi lain yang kebobolan, pemerintah justru berencana menghidupkan kembali Tim Pemburu Koruptor. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengatakan, tim ini akan dihidupkan guna meringkus Djoko Tjandra dan koruptor lain yang menjadi buronan.
Menurut Mahfud, nantinya TPK akan beranggotakan pimpinan Kejaksaan Agung dan Kemenkumham di bawah koordinasi Kemenko Polhukam. Guna merealisasikan rencana tersebut, pemerintah akan memperpanjang aturan hukum terkait TPK. Hal ini lantaran instruksi presiden (Inpres) Nomor 5 tahun 2004 terkait TPK telah habis masa berlakunya. Ia mengklaim, Kemenko Polhukam telah memiliki instrumen hukum yang selaras dengan Inpres tersebut.
Kritik atas Tim Pemburu Koruptor
Rencana menghidupkan kembali TPK menuai kritik. Pasalnya kebijakan ini dinilai tidak akan efektif. Selain itu TPK juga berpotensi tumpang tindih (overlapping) dengan institusi penegak hukum yang sudah ada seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian dan Kejaksaan. Karena, tugas menangkap koruptor telah melekat pada institusi penegak hukum tersebut.
Pembentukan tim ini juga dinilai akan berseberangan dengan niat Presiden Jokowi merampingkan lembaga dan instansi. Pasalnya, menghidupkan kembali TPK akan menambah daftar panjang task force di pemerintahan ini. Padahal Jokowi mewacanakan akan membubarkan sejumlah lembaga dan instansi karena dinilai tidak efektif dan memboroskan anggaran.
Lolosnya Djoko Tjandra seharusnya dimaknai karena buruknya koordinasi antaraparat penegak hukum dan lembaga terkait bukan kurangnya tim. Untuk itu, daripada menghidupkan kembali tim yang dinilai gagal di masa lalu, pemerintah lebih baik meningkatkan dan menguatkan koordinasi antarpenegak hukum.
Tim Pemburu Koruptor Dinilai Gagal
TPK sebenarnya bukan barang baru di republik ini. Task force yang diniatkan guna memburu para buronan kasus korupsi ini sudah ada sejak tahun 2004. Tim ini dibentuk pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tim gabungan ini dibentuk dengan mengacu Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi yang diterbitkan Presiden SBY. Tim yang bertugas mencari para tersangka dan terpidana kasus korupsi ini dibentuk oleh Wakil Presiden saat itu, Jusuf Kalla.
Tim ini beranggotakan perwakilan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kejaksaan Agung, Kementerian Luar Negeri, serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Awalnya tim ini dipimpin Jaksa Agung Muda Intelijen Basrief Arief. Setelah Basrief pensiun pada 1 Februari 2007, ketua tim dijabat Wakil Jaksa Agung Muchtar Arifin.
Namun, tim ini dinilai gagal atau setidaknya tidak bekerja secara maksimal. Tim ini hanya mampu memulangkan empat dari 16 terpidana kasus korupsi yang buron. Salah satu kendala yang kerap disampaikan, buronan susah ditangkap dan dibawa pulang karena berada di negara yang tak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia.
Ide menghidupkan kembali tim yang sudah lama terkubur ini dinilai menunjukkan ketidakmampuan pemerintah membereskan birokrasi dan institusi penegak hukum. Alih-alih menghidupkan kembali TPK agar terkesan serius memburu buronan kasus korupsi, pemerintah lebih baik menyusun strategi dan memaksimalkan tugas dan fungsi lembaga yang sudah ada. Ini dilakukan agar pemerintah tidak mengulang kesalahan yang sama. Juga agar tidak ada lagi Djoko Tjandra- Djoko Tjandra lainnya yang bisa seenaknya mempermainkan hukum di Indonesia.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.