Oleh: Azaki Khoirudin, Direktur Program Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial, Universitas Muhammadiyah Surakarta
Dalam rentang tiga hari terahir ini, melalui pesan WhatsApp, berseliweran isu reshuffle dan susunan kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin yang baru. Menariknya dalam daftar nama tersebut memasukkan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Dr Haedar Nashir, M.Si.
Sikap saya tentu biasa dan tidak kaget. Sebagai orang yang belakangan ini bergelut di media dan informasi, saya pun menanggapinya dengan santai. Karena jelas model informasi semacam itu pasti tidak benar alias tidak bisa dipertanggung jawabkan karena tidak jelas “sumbernya”.
Kedua, saya mengenal betul sosok dan karakter Pak Haedar sebagai penjaga gawang khittah organisasi Muhammadiyah dari politik praktis. Pak Haedar adalah pimpinan Muhammadiyah yang konsisten memegang aturan dan kaidah organisasi. Menurut saya Pak Haedar tentu menghargai positif setiap jabatan publik di pemerintahan, tetapi tidak akan bersedia menduduki, apalagi mengincar jabatan politik tersebut, siapapun presidennya.
Saya awalnya tidak terpikir sama sekali untuk menanggapi hal ini. Karena seperti saya jelaskan, bahwa saya tidak kaget dan apalagi percaya dengan isu tersebut. Namun, ternyata banyak sekali, yang menghubungi saya, menanyakan hal ini. Saya kira yang percaya isu ini hanya orang tua, ternyata sampai teman-teman muda juga ada yang sempat percaya dengan isu ini. Karena itu, dalam tulisan ini saya ingin mengajak pembaca untuk berbicara tiga hal, yaitu mengenali lagi karakter Pak Haedar, mengenal karakter informasi dan bagaimana menyikapinya.
Bagi saya, ada beberapa hal penting yang wajib dikenali dari Pak Haedar.
Pertama, dalam sanad keorganisasian dan aktivismenya, Pak Haedar secara ideologis tidak memiliki irisan dengan ideologi maupun organsasi lain. Maksud saya murni sejak muda aktif menggerakkan dan memikirkan Muhammadiyah. Tidak pernah di organisasi lain misalnya pernah di HMI, PMII, KAMMI atau pergerakan mahasiswa lainnya.
Sejak muda hingga tua hanya berkecimpung di organisasi Muhammadiyah. Mulai dari IPM, Pemuda Muhammadiyah, lalu PP Muhammadiyah. Hal ini menjadikan pengalaman, sikap dan pandangannya otentik. Artinya dalam melihat dan memutuskan sesuatu, selalu mengedepankan kepentingan dan dipengaruhi oleh pandangan-pandangan Muhammadiyah. Bukan alam pikiran lain.
Kedua, Pak Haedar selain organisatoris, beliau adalah pemikir organisasi yang sangat produktif menulis, terutama berkaitan dengan pemikiran-pikiran Muhammadiyah. Lihat saja-karya-karya buku beliau tentang Muhammadiyah. Tidak cukup di situ, pikiran-pikiran resmi Muhammadiyah sejak dalam kurun 20 tahun terakhir adalah berkat tangan dingin Pak Haedar. Misalnya saja Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM). Pak Haedar adalah sosok yang sangat memahami pikiran-pikiran resmi organisasi Muhammadiyah. Pikiran Muhammadiyah seperti telah menyatu dalam alam pikiran Pak Haedar. Bagi pembaca setia majalah Suara Muhammadiyah, tentu kenal rubrik khusus bernama “bingkai”. Setau saya, Pak Haedar menulis rutin di rubrik ini selama 10 tahun tentang ideologi Muhammadiyah. Maka siapapun yang ingin memahami ideologi Muhammadiyah, mau tidak mau wajib membaca karya Pak Haedar.
Ketiga, Pak Haedar tidak pernah di partai politik, atau di jabatan politik lainnya. Sikapnya low profile, tidak suka bermanuver politik. Ini penting dipahami. Karena pemahamannya pada prinsip-prinsip organisasi menjadikan ia sangat berhati-hati membawa kapal besar Muhammadiyah, tidak seperti pesawat tempur. Hal ini menjadikan sikap-sikapnya selama menjadi Pimpinan Muhammadiyah baik sebelum dan selama menjadi Ketua Umum tidak dipengaruhi muatan-muatan politik.
Sependek pengetahuan saya, Pak Haedar tidak akan pernah memilih dunia politik praktis di pemerintahan sebagai alat perjuangannya. Hal ini bukan berarti beliau anti-jabatan, apalagi anti-pemerintah dan anti-politik. Beliau mendorong kader-kader Muhammadiyah untuk berkiprah di medan perjuangan politik. Tetapi, tidak menjadikan Muhammadiyah sebagai alat perjuangan politik praktis, apalagi sikap partisan mengatasnamakan Muhammadiyah.
Memahami Karakter Informasi, Fakta atau Hoax?
Laju isu di media sosial bagitu dinamis, dan sering kali ugal-ugalan. Kita bisa tersesat, bahkan jatuh ke jurang jika tidak memahami karakter persebaran informasi dengan baik. Susah sekali mengendalikan isu yang liar, mulai dari kesehatan, bencana, agama, hingga isu reshuffle. Yang benar dan salah, nyaris tak ada bedanya.
Nah, bagaimana cara mengidentifikasi suatu isu benar atau salah? Atau bagaimana harusnya kita menyikapinya. Sebenarnya banyak alat dan cara untuk mengecek apakah berita dan informasi itu hoax atau fakta. Darimana awal penyebarannya sampai sejauh mana persebarannya. Tetapi itu perlu latihan khusus, maka saya tidak akan bicara di sini. Saya hanya akan menjelaskan beberapa hal di sini terkait pesan informasi.
Pertama, kita harus memiliki critical thingking (berpikir kritis). Dahulukan nalar kritis daripada perasaan. Jangan mudah menerima informasi jika itu sesuai selera dan perasaan kita. Sebaliknya menolak informasi jika kita membencinya. Jadi tolok ukurnya bukan perasaan, tetapi nalar kritis.
Kedua, setelah berpikir kritis, maka kita bertanya: benar atau tidak? Baru kemudian mencari tahu sumbernya, siapa pembawa pesan dan penyampai pesan itu? Nah, jika tak ada sumbernya maka wajib ditolak. Jangan urusan hadis Nabi Muhammad Saw, kita kencang sekali harus shahih, tetapi urusan informasi tidak. Medsos itu sumber yang lemah sekali, apalagi jika tidak ada linknya. Kita perlu naik kelas, dari membaca status, informasi tanpa sumber menjadi-- biasakan membaca yang jelas sumbernya. Jelas sanadnya. Minimal membaca artikel dari situs-situs keislaman dengan sumber yang jelas dan penulis yang otoritatif. Syukur-syukur membaca buku dan jurnal ilmiah.
Ketiga, jika ada sumber atau link yang otoritatif, baru dishare dan disebarkan. Jadi kita harus biasa menyebar informasi yang ada sumbernya, lebih-lebih sumber yang resmi. Jadi selain percaya pada Sumber Al-Quran dan Hadis, kita juga harus percaya pada otoritas. Otoritas ini bisa pemerintah, ilmuwan (pakar), atau institusi.
Terakhir, hal yang penting sekali adalah sikap bijak. Jangan sampai informasi belum pasti benar sudah menjadikan sikap kita tidak bijak. Misalnya kasus Pak Haedar diisukan jadi Mendikbud, kita sudah berpikir negatif, menuduh Pak Haedar yang macam-macam. Maka bagi seorang muslim kita perlu tabayun. Cek dan seleksi setiap informasi dengan kritis, cerdas, dan beretika tinggi.Dalam terjemahan QS Az-Zumar: 18, dikatakan “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS Az-Zumar: 18).
Tidak cukup dengan tabayun, khusnudzan dalam arti berpikir positif menjadi etika penting dalam bermedia sosial dan menerima informasi. Demikian, semoga kita termasuk orang-orang yang selalu mendapatkan petunjuk. Aamiin..
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.