Oleh : Mustakim*
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta enggan menerapkan new normal dan memilih pembatasan sosial berskala besar (PSBB) Transisi. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memilih PSBB ‘baru’ bukan ‘tatanan baru’.
PSBB transisi mulai diberlakukan sejak Jumat (5/6) dan akan berlaku hingga akhir Juni 2020. Berbeda dengan sebelumnya, ada sejumlah kelonggaran dalam PSBB baru ini. Salah satunya terkait aktivitas sosial dan ekonomi.
Di masa PSBB transisi ini, masyarakat sudah bisa melakukan kegiatan sosial dan ekonomi. Pemprov DKI secara bertahap juga akan membuka kembali rumah ibadah, pusat perbelanjaan, tempat hiburan dan pariwisata, hingga perkantoran.
Presiden Joko Widodo sebelumnya meminta sejumlah daerah menyiapkan protokol kesehatan menjelang tatanan kehidupan normal baru atau new normal. DKI Jakarta menjadi salah satu daerah yang disiapkan pemerintah pusat untuk menjalani new normal.
Namun, alih-alih menerapkan new normal seperti arahan Jokowi, Anies malah memutuskan PSBB transisi.
Sejumlah kalangan menilai, PSBB transisi sebenarnya sama dengan kebijakan new normal yang disampaikan Jokowi. Karena, meski melakukan PSBB Pemprov DKI melonggarkan sejumlah aturan yang ada dalam pembatasan sosial.
Anies hanya menggunakan istilah yang berbeda dengan pemerintah pusat. Ada kesan Anies ingin tampil beda dan kebijakannya berseberangan dengan pemerintah pusat.
Tak sejalan
Ini bukan yang pertama. Sebelumnya DKI Jakarta dan pemerintah pusat juga berbeda sikap soal karantina wilayah atau lockdown. Anies sempat meminta pemerintah pusat menerapkan lockdown guna menekan penyebaran virus corona.
Namun permintaan itu tak dikabulkan. Tak hanya itu, ‘Balai Kota’ dan ‘Istana’ juga sempat ‘bersitegang’ terkait data penyebaran virus corona di Ibu Kota.
Pemprov DKI Jakarta dan pemerintah pusat juga sempat ‘ribut’ terkait kebijakan larangan perjalanan bus antar kota antar provinsi (AKAP). Pemprov DKI melarang perjalanan bus AKAP pada 29 Maret. Namun, selang sehari kebijakan ini dibatalkan Plt Menteri Perhubungan Luhut Binsar Panjaitan.
Sejak awal, Anies Baswedan dan pemerintah pusat kerap berbeda sikap terkait penanganan virus corona. Anies kerap mengkritisi cara pemerintah pusat dalam menangani pandemi. Mulai dari pengetesan virus corona hingga inkonsistensi pemerintahan Jokowi dalam menangani pandemi.
Anies juga sempat ribut dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang dinilai lamban, khususnya terkait izin PSBB yang ia ajukan.
Masyarakat bingung
Kebijakan pemerintah daerah dan pusat yang kerap berbeda dalam menangani wabah virus corona akan merugikan publik. Kebijakan yang tak searah juga bisa memicu ketidakpercayaan publik dan distorsi informasi.
Hal ini akan membuat publik kebingungan dan pada akhirnya kesulitan mematuhi kebijakan tersebut. Kondisi ini bisa membuat penyebaran virus mematikan ini makin susah ditangani.
Virus Corona masih menggila. Penularan virus mematikan ini juga masih terjadi. Hal ini dibuktikan dengan masih tingginya angka kasus Covid-19 di Indonesia.
Berdasarkan data yang masuk hingga Senin (8/6/2020) pukul 12.00 WIB, ada 847 kasus baru Covid-19 dalam 24 jam terakhir. Penambahan itu menambah daftar kasus Covid-19 sehingga total ada 32.033 kasus Covid-19 di Indonesia.
Di masa pandemi ini pemerintah pusat dan daerah harus solid dan intens menjalin komunikasi dan koordinasi.
Pemerintah pusat harus mendengar masukan pemerintah daerah. Sebaliknya pemerintah daerah juga tak boleh mengambil inisiatif dan membuat kebijakan sendiri.
Anies dan juga kepala daerah yang lain seyogyanya mengikuti langgam pemerintah pusat. Dengan begitu, penanganan pandemi akan lebih efektif dan terhindar dari polemik.
*Mustakim adalah jurnalis senior yang bekerja di KompasTV.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.