Oleh Trias Kuncahyono
Ada peribahasa di Afganistan yang berbunyi, “Semoga Tuhan menjauhkanmu dari racun ular kobra, gigi harimau, dan balas dendam orang-orang Afghanistan.”
Peribahasa tersebut memberikan gambaran betapa bahayanya Afganistan; bahaya selalu mengancam, termasuk mengancam kesepakatan perjanjian.
Karena itu, memahami masyarakat Afganistan terlebih dahulu adalah sangat penting sebelum membangun kepercayaan dengan mereka.
Dalam bahasa lain, Khaled Hosseini, novelis—penulis The Kite Runner -kelahiran Afganistan menulis, “Di Afghanistan, Anda tidak memahami diri Anda semata-mata sebagai individu ... Anda memahami diri Anda sebagai seorang putra, saudara lelaki, sepupu seseorang, seorang paman dari seseorang. Anda adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri Anda sendiri.”
Amy Chua (2018), menulis kegagalan AS di Vietnam adalah karena kegagalan memahami masyarakat Vietnam. Bagaimana di Afganistan?
Dalam sejarah perundingan dengan kelompok-kelompok pemberontak di Afghanistan, sulit untuk menemukan bahkan satu periode sekalipun, adanya perdamaian berkelanjutan.
Pada 1980-an, jauh sebelum kemunculan Taliban sebagai entitas tersendiri yang pada akhirnya menjadi kekuatan yang mematikan, Mujahidin secara teratur mengadakan perundingan damai dengan pemerintah Afghanistan yang didukung Uni Soviet, di bawah Kebijakan Rekonsiliasi Nasional (NRP) dari pemerintah Najibullah, yang dimulai pada tahun 1986 (Shubhangi Pandey: 2019).
Namun, dengan tidak adanya bantuan keuangan dan militer dari Uni Soviet, Najibullah gagal mempertahankan kendali atas Angkatan Bersenjata Afghanistan, serta lembaga-lembaga politik nasional, yang menyebabkan runtuhnya pemerintahan.
Kesepakatan Jenewa 1988, yang terdiri dari tiga perjanjian bilateral yang ditandatangani antara pemerintah Afghanistan dan Pakistan, di hadapan perwakilan dari AS dan Uni Soviet sebagai penjamin, juga gagal mengakhiri perang 15 di Afghanistan.
Hal tersebut terjadi antara lain, pertama, Mujahidin tidak terlibat langsung dalam perundingan. Karena itu, Mujahidin merasa bahwa upaya diplomatik tersebut sebagai strategi untuk meminggirkan mereka secara sistematis.
Mereka tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Selain itu, kesepakatan damai gagal mengkalibrasi perjanjian pembagian kekuasaan yang potensial yang akan mempertimbangkan kepentingan dan partisipasi semua pemangku kepentingan domestik yang mungkin, termasuk berbagai milisi.
Apakah perundingan perdamaian yang antara AS dan Taliban, akan bernasib seperti perundingan perdamaian antara Uni Soviet dan Mujahidin?
BACA JUGA TULISAN TRIAS KUNCAHYONO LAINNYA DISINI
Kotak Hitam
Bagi sebagian besar orang Amerika, Afganistan adalah kotak hitam (Amy Chua, 2018). Dengan menyatakan itu, Amy Chua ingin mengingatkan penting memahami struktur masyarakat Afganistan sebelum meneken kertas perjanjian.
Identitas kelompok paling penting di Afganistan tidak sesuai dengan garis nasional, tetapi lebih berdasarkan etnis, suku, dan klan. Lagu kebangsaan Afghanistan, misalnya, menyebutkan empat belas kelompok etnis, empat terbesar adalah Pashtun, Tajik, Uzbek, dan Hazara.
Ada sejarah panjang permusuhan di antara keempatnya. Selama lebih dari 200 tahun, 1747-1973, Pashtun mendominasi Afganistan. Selama masa itu, negara-negara Eropa tidak berhasil menundukkan Afganistan, meskipun Inggris dan Rusia pernah mencobanya.
Karena itu, banyak orang Pashtun mengira bahwa Afganistan adalah “negeri mereka.” Tetapi, mereka tidak hanya hidup di Afganistan, melainkan juga di Pakistan. Bahkan, lebih banyak orang Pashtun yang hidup dan tinggal di Pakistan ketimbang di Afganistan.
Dominasi Pashtun mulai menyusut selama Perang Dingin. Pada tahun 1992, koalisi Tajik dan Uzbek mengambil-alih kekuasaan. Pashtun kehilangan kekuasaan mereka atas Kabul, dan jatuh ke tangan Burhanuddin Rabbani, seorang Tajik.
Mereka, Pasthun, tidak hanya kehilangan Kabul, mereka juga kehilangan penguasaannya atas birokrasi negara. Bahasa Pashto yang sebelumnya mendominasi kehidupan masyarakat—digunakan oleh koran-koran, radio, dan televisi milik pemerintah—harus pula kehilangan perannya.
Yang juga sangat memukul mereka adalah Pashtun kehilangan tulang punggung kekuatan mereka yakni militer Afganistan. Karena militer terpecah-pecah, dan jenderal-jenderal yang bukan dari etnik Pashtun, kemudian menguasai unit-unit militer.
Situasi kemudian berbalik, setelah Uni Soviet keluar dari Afganistan (1989). Orang-orang Pashtun yang membentuk gerakan Taliban--menurut Amy Chua, Taliban diambil dari bahasa Arab, Talib, yang berarti siswa atau Pashto dalam bahasa Pashtun yang berarti siswa--bergerak cepat dengan dukungan Pakistan.
Mereka bukan sekadar gerakan Islamis, melainkan juga sebuah gerakan etnik. Bahkan, Taliban adalah gerakan revolusioner (Gilles Dorronsoro, 2009).
Mayoritas anggota kelompok ini adalah etnik Pashtun. Karena gerakan ini didirikan oleh orang Pasthun pada awal 1990-an dalam faksi Mujahidin, kelompok pejuang penentang pendudukan Uni Soviet di Afganistan (1979-1989) dengan dukungan AS (CIA) mitranya, ISI (Inter-Services Intelligence) dinas intelijen Pakistan (Zachary Laub, 2014). Mereka dilatih di Pakistan.
Gerakan ini menarik dukungan rakyat Afganistan di era pasca-Soviet. Janji mereka untuk memulihkan kembali dominasi Pashtun di Afganistan adalah bagian penting dari kebangkitan Taliban ke tampuk kekuasaan.
Menurut Gilles Dorronsoro, mereka sangat pandai mengeksploitasi kelemahan pemerintahan kaum minoritas Tajik. Apalagi, etnis Pashtun adalah paling banyak yakni, ketika itu, 40 persen dari jumlah penduduk Afganistan.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.