Oleh: Trias Kuncahyono
In paradisum deducant angeli:
in tuo adventu suscipiant te martyres,
et perducant te in civitatem sanctam Jerusalem.
Chorus angelorum te suscipiat,
et cum Lazaro quondam paupere,
aeternam habeas requiem.
Lagu itu dinyanyikan paduan suara Kapel Sistina,The Sistine Chapel Choir, saat peti jenazah Paus Fransiskus diangkat; dan pelan-pelan dibawa masuk Basilika St. Petrus, Vatikan. Kemudian dibawa ke Basilika St. Maria Maggiore – sesuai testamen spiritualnya – sekitar 30 menit waktu tempuhnya dari Basilika St. Petrus.
Lantunan lagu In Paradisum membuat suasana di Lapangan St. Petrus yang siang itu di bawah langit biru bersih, panas matahari Roma, terasa demikian khidmat, haru mendalam. Ada rasa duka yang menguasai Lapangan St. Petrus, juga Via della Conciliazione, yang siang itu disesaki lebih dari 250.000 orang. Ada rasa kehilangan begitu tebal karena perginya untuk selamanya pribadi agung. Maka meski begitu banyak orang, namun tenang dan hening.
Tiba-tiba, ketika peti jenazah dibawa meninggalkan piazza, tepuk tangan membahana, mengiringinya. Dan, saat itulah koor menyanyikan lagu karya Gabriel Fauré (1845–1924) yang mengungkapkan keinginan kita agar para malaikat membimbing jiwa Paus menuju surga:
“Semoga para malaikat menuntunmu ke surga; semoga para martir datang dan menyambutmu serta membawamu ke kota suci, Yerusalem yang baru dan abadi. Semoga paduan suara malaikat menyambutmu dan bersama Lazarus, yang tidak lagi miskin, semoga engkau memperoleh istirahat kekal.”
Baca Juga: Makam Paus Fransiskus Mulai Dibuka untuk Umum, Begini Antrean Peziarah di Basilika St Maria Maggiore
***
Hingga beberapa saat sebelum pukul 10.00, jenazah Paus Fransiskus masih disemayamkan di Basilika St. Petrus. Di Altar of the Confessio, sebuah tempat suci di depan makam utama Santo Petrus, yang diyakini umat Katolik sebagai paus pertama, peti jenazah Paus Fransiskus diletakkan, yang sampai malam sebelumnya wajahnya yang teduh masih bisa dilihat oleh ribuan orang dalam pelukan harum dupa.
Altar itu persis di depan altar utama karya seniman kondang abad ke-17, Gian Lorenzo Bernini (1598 – 1680), di Basilika St. Petrus, Vatikan.
Peti jenazah yang bagian dalamnya ditutupi kain beludru merah itu tidak sebanding dengan baldacchino atau kanopi perunggu bertiang empat yang menaungi altar utama. Baldacchino itu gemerlap indah; sementara peti mati itu benar-benar menggambarkan sosok pribadi agung yang terbaring dalam damai meski tanpa napas kehidupan: sederhana.
Padahal secara tradisi dari zaman ke zaman, paus dimakamkan dalam satu set peti terdiri atas tiga peti: yang terbuat dari kayu cemara (melambangkan kerendahan hati dan kefanaan), peti mati dari timah untuk mengawetkan jenazah dan mencegah kerusakan, dan peti mati dari kayu ek luar yang mencerminkan martabat dan kekuatan.
Tidak demikian. Paus Fransiskus membongkar tradisi: peti matinya tidak berlapis-lapis seperti itu. Ia tidur dalam keabadian dalam peti mati kayu dilapisi seng saja. Kesederhanaan, adalah salah satu warisan Paus Agung yang rendah hati ini.
Tiga tahun lalu (2022), umat masih bisa menyaksikan bagaimana Paus Benediktus XVI dimakamkan. Benediktus turun takhta pada tahun 2013, paus pertama yang melakukannya dalam 600 tahun, tetapi ia tetap diberi pemakaman kepausan pada tahun 2022. Tubuhnya yang dibalsem, dikenakan jubah duka kepausan merah, dibaringkan di atas peti jenazah yang ditutupi kain emas dan diangkat di atas alas di depan altar di Basilika Santo Petrus, tempat orang-orang dapat memberikan penghormatan.
Namun, Paus Fransiskus menghindari ritual ini ketika ia menyetujui aturan yang disederhanakan pada bulan April 2024. Dengan aturan baru, umat beriman masih dapat melihat jenazahnya di basilika. Tetapi jenazahnya ditempatkan dalam peti jenazah sederhana yang terbuat dari kayu dan dilapisi seng, dan tidak akan diangkat ke atas panggung. Peti jenazah akan tetap terbuka hingga malam sebelum pemakaman.
Paus Fransiskus menjelaskan mengapa tidak ingin tubuhnya dipamerkan. Sebab, ia tidak ingin diidolakan. Dengan itu, Paus Fransiskus mengirimkan isyarat bahwa bukan kekuasaan, bukan kemewahan dan kemahsyuran, kemegahan, tetapi kesederhanaan otentik, bukan kesederhanaan sandiwara atau polesan yang diperlukan dunia ini.
***
Karena kesederhanaannya itu, kata Dean of the College Cardinals, Kardinal Giovanni Battista Re (91) dalam khotbahnya saat Misa Pemakaman, Paus Fransiskus (1936 – 2025) dikenang sebagai “pope of the people.” Ia seorang romo yang tahu bagaimana berkomunikasi dengan “yang paling kecil di antara kita.”
“Dia adalah seorang paus yang berada tengah-tengah orang-orang biasa, hatinya terbuka bagi setiap orang,” kata Re dalam khotbah panjangnya yang beberapa kali mendapat tepuk tangan saat menceritakan perjalanan kepausan Paus Fransiskus yang sangat peduli pada orang-orang kecil dan miskin, membuka hatinya pada siapa saja, peduli pada kaum migran, peduli pada lingkungan, dan memperjuangkan perdamaian.
Bagikan perspektif Anda, sumbangkan wawasan dari keahlian Anda, dan berkontribusilah dalam memperkaya pemahaman pembaca kami.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.