Oleh Abie Besman, Peneliti Komunikasi dari Texas Tech University
Apa yang terjadi ketika seorang tokoh publik dengan gelar Gus—yang seharusnya membawa kemuliaan dan kearifan—menggunakan panggungnya untuk mengolok-olok seorang penjual es teh? Kita mungkin mendapatkan pelajaran yang berharga: komunikasi massa, jika digunakan sembarangan, bisa berubah menjadi alat kesombongan yang melukai banyak pihak.
Miftah Maulana atau yang lebih dikenal dengan Gus Miftah, baru saja memberikan kita "masterclass" tentang bagaimana tidak seharusnya berbicara di depan publik. Dalam sebuah acara pengajian, Miftah, dengan kepercayaan diri yang membubung tinggi, menertawakan seorang pedagang kecil dengan bantuan massa yang riuh. Ya, benar, ini adalah dakwah yang katanya “merangkul”, tetapi kenyataannya justru merendahkan.
Baca Juga: Miftah Maulana Datangi Penjual Es Teh yang Diolok-olok: Saya Minta Maaf
Miftah tampaknya lupa bahwa humor bukanlah senjata yang bisa digunakan sembarangan. Humor, ketika diarahkan dengan tidak tepat, tidak hanya menghancurkan kredibilitas pembicara, tetapi juga menimbulkan luka yang mendalam bagi targetnya. Dalam kasus ini, pedagang es teh yang menjadi korban mungkin tidak akan pernah lupa bagaimana martabatnya dirampas di depan banyak orang. Apakah ini dakwah? Tidak, ini adalah contoh buruk dari kesombongan komunikasi massa yang dibungkus dengan tawa.
Ketika seorang pemimpin agama menggunakan massa untuk tertawa bersama atas penderitaan atau perjuangan orang lain, itu bukan sekadar tindakan tidak bijaksana. Ini adalah pengkhianatan terhadap nilai-nilai dasar agama itu sendiri. Agama mengajarkan kita untuk menghormati setiap manusia tanpa memandang status sosial mereka. Tapi di tangan Miftah, panggung dakwah menjadi arena pertunjukan yang tidak jauh berbeda dari sirkus, di mana seseorang dipermalukan demi hiburan.
Yang lebih mengkhawatirkan dari insiden ini adalah reaksi massa. Tawa yang meledak-ledak saat seseorang direndahkan menunjukkan bagaimana komunikasi massa dapat memengaruhi psikologi kelompok. Ketika seorang pemimpin, dalam hal ini Miftah, menggunakan otoritasnya untuk memancing ejekan, audiens sering kali kehilangan filter moral mereka. Fenomena ini memperlihatkan bahaya besar: di tangan yang salah, komunikasi massa tidak hanya merusak, tetapi juga memperburuk krisis nilai dalam masyarakat.
Baca Juga: Usai Viral Olok-Olok Bapak Penjual Es Teh, Gus Miftah Dapat Teguran dari Seskab Mayor Teddy
Namun, kita juga harus bertanya pada diri sendiri, di mana letak kesadaran individu-individu dalam audiens tersebut? Mengapa tidak ada satu pun yang berdiri dan mengatakan, "Ini salah"? Jika massa terus mengiyakan, apakah kita juga harus menyalahkan Miftah sepenuhnya, atau ini adalah tanda dari erosi kolektif moralitas masyarakat?
Sebagai seorang pemimpin dengan audiens besar, Miftah seharusnya memahami bahwa komunikasi massa adalah pedang bermata dua. Ketika digunakan dengan bijak, ia dapat menjadi alat untuk mendidik, memperkuat, dan menyebarkan nilai-nilai kebaikan. Namun, ketika digunakan dengan sembrono, ia menjadi senjata yang melukai.
Sumber :
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.