Kompas TV kolom opini

Peran Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Meretas Resah dari Generasi Roti Lapis

Kompas.tv - 14 November 2024, 17:26 WIB
peran-jaminan-sosial-ketenagakerjaan-meretas-resah-dari-generasi-roti-lapis
Ilustrasi kehidupan generasi sandwich. (Sumber: Shutterstock)

Oleh: Meirna Larasati, Content Marketing KompasTV

JAKARTA – Beberapa waktu lalu, film Home Sweet Loan produksi Visinema ramai menjadi perbincangan hingga mencapai 1,7 juta penonton. Film ini memberikan gambaran nyata tentang dilema yang sering dihadapi generasi sandwich dan kelas menengah. 

Berkisah tentang pekerja ibukota yang berada di tengah tekanan finansial, film Home Sweet Loan menunjukkan bagaimana tuntutan membiayai keluarga, mengurus orang tua, serta meraih kehidupan lebih baik menjadi beban yang cukup berat.

Dengan saksama, Home Sweet Loan mengeksplorasi bagaimana impian sederhana memiliki rumah sendiri sering kali terhalang keterbatasan finansial, terutama bagi mereka yang berada dalam situasi "serba tanggung" sebagai generasi sandwich

Film ini menyuguhkan representasi nyata tentang beban generasi ini yang tak hanya terjebak dalam siklus biaya hidup tinggi, tetapi juga sering kali harus menyeimbangkan berbagai kebutuhan keluarga.

Realitas yang ditampilkan Home Sweet Loan makin relevan ketika dikaitkan kondisi kelas menengah. Faktanya, walaupun memiliki penghasilan tetap, para generasi sandwich masih sulit mencapai kestabilan finansial. 

Generasi sandwich merujuk pada kelompok usia produktif yang harus menanggung beban finansial berlapis, baik untuk diri sendiri, anak dan pasangan, maupun orang tua mereka.

Banyak di antara mereka berada dalam kondisi penuh pertimbangan, harus memprioritaskan biaya hidup sehari-hari, pendidikan anak, hingga kesehatan orang tua. 

Umumnya, generasi sandwich harus bertanggung jawab secara sosial, emosional, dan finansial untuk dua generasi bahkan lebih dalam waktu bersamaan. Karena itu, mereka belum mampu merdeka secara finansial.

Bagi Rio (29 tahun), seorang karyawan swasta Jakarta, posisi sebagai generasi sandwich berarti sulit untuk menabung dan membeli properti. Tommy (32 tahun), yang bekerja sebagai Sales Engineer Staff di Cikarang, memiliki cerita serupa.

Setiap kali berhasil menabung, Tommy mengaku uangnya seringkali habis untuk membantu biaya kuliah adik atau memperbaiki barang-barang rumah tangga yang rusak. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kelas menengah mengalami penurunan sebesar 9,48 juta jiwa pada 2019, tepatnya dari 57,33 juta jiwa menjadi 47,85 juta jiwa. Di sisi lain, sebanyak 44,6 persen masyarakat Indonesia memiliki ketergantungan terhadap usia produktif. 

Artinya, dari setiap 100 orang usia nonproduktif terdapat 44 orang yang bergantung pada mereka yang produktif. Laporan BPS 2017 menunjukkan setidaknya 77,82 persen sumber pembiayaan rumah tangga lansia ditopang anggota rumah tangga yang masih bekerja. 

Hingga pertengahan 2024, jumlah kelas menengah dan menuju kelas menengah sekitar 66,35 persen dari total penduduk. Sebanyak 7 dari 10 responden mengakui bahwa mereka merupakan bagian dari generasi sandwich (survei Kompas Agustus 2022).

Kondisi tersebut membuat kelas menengah yang merangkap generasi sandwich memiliki peran krusial sebagai bantalan ekonomi nasional.

Generasi sandwich, yang mendominasi kelompok kelas menengah, berada dalam posisi kompleks, di mana harapan untuk hidup layak kerap terbentur dengan pengeluaran yang tak terhindarkan.

Dinamika sosial dan ekonomi yang makin berat, seperti meningkatnya biaya hidup yang tidak diimbangi peningkatan pendapatan tentunya berdampak besar pada generasi sandwich.

Kondisi ini tidak hanya menguras keuangan, tetapi juga memengaruhi kesehatan mental generasi sandwich, karena harus menyeimbangkan tuntutan dari berbagai sisi. 

Imbas Menjadi Generasi Sandwich Bagi Kesehatan Fisik dan Mental

Sejumlah studi membuktikan, menjadi generasi sandwich tidak hanya berdampak pada kesehatan fisik, melainkan berpeluang lebih besar mengalami beban psikologis yang berdampak pada kesehatan mental. 

Terlebih, adanya pengaruh kebudayaan dan kebiasaan dalam masyarakat yang seolah mengharuskan generasi sandwich juga membantu anggota keluarga lain, seperti saudara kandung dan kerabat.

Ani (29 tahun), yang bekerja sebagai pegawai kantoran di Tangerang, memiliki kisah yang sama. Selain memberi uang saku untuk adik yang masih kuliah, ia juga harus membantu melunasi utang yang ditinggalkan orang tua. Walau sudah memiliki keluarga sendiri, Ani merasa tidak bisa lepas dari kewajiban finansial terhadap keluarga besarnya.

"Kadang terpikir uangnya bisa untuk ditabung atau meningkatkan taraf hidup, tapi kenyataannya harus bayar utang orang tua. Tapi saya tetap bersyukur karena orang tua sudah berjuang menyekolahkan kami," ungkapnya.

Tuntutan untuk bisa membagi waktu dan peran yang saling tumpang tindih antara generasi tentunya berdampak negatif pada kesehatan mental generasi sandwich.

Akibatnya, generasi sandwich lebih rentan mengalami serangkaian gangguan kesehatan mental, seperti kecemasan, kesedihan, stres, hingga burnout. 

Bukan hanya mengganggu kesehatan mental, peran sebagai generasi sandwich tak jarang membuat individu kesulitan menyeimbangkan tanggung jawab dalam kehidupan berkeluarga dan pekerjaan (work life balance). Hal tersebut tentunya sangat berisiko berpengaruh pada produktivitas kerja hingga penurunan kualitas hidup.

Di sinilah peran jaminan sosial ketenagakerjaan menjadi relevan, karena dapat membantu mengurangi tekanan finansial yang dirasakan generasi ini.




Sumber : Kompas TV




BERITA LAINNYA



FOLLOW US




Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.


VIDEO TERPOPULER

Close Ads x