Oleh: Abie Besman, jurnalis senior Kompas TV sekaligus Dosen Komunikasi Politik Universitas Padjadjaran
JAKARTA sebagai ibu kota Indonesia, memegang peranan krusial dalam konteks politik dan budaya nasional. Sejak masa Orde Lama hingga sekarang, Jakarta telah dipimpin oleh berbagai tokoh dengan latar belakang yang beragam.
Setiap gubernur memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kebijakan publik dan dinamika sosial, kultural, serta politik di kota ini.
Berikut adalah beberapa dinamika dan keragaman yang dirangkum dalam perjalanan Jakarta sebagai ibu kota negara.
Pada masa Orde Lama, Jakarta dipimpin oleh Suwiryo, seorang tokoh nasionalis dari suku Jawa, yang menjabat dari 1945 hingga 1951. Sebagai bagian dari generasi pejuang kemerdekaan, Suwiryo menghadapi tantangan besar dalam membangun Jakarta sebagai ibu kota yang baru merdeka.
Ia harus mengatasi masalah infrastruktur, mengintegrasikan berbagai kelompok etnis, serta memastikan stabilitas politik di tengah situasi yang masih rentan.
Kepemimpinan Suwiryo, yang berasal dari suku Jawa, memberikan keuntungan dalam hal kesamaan budaya dengan sebagian besar penduduk, namun juga memerlukan pendekatan inklusif untuk merangkul keberagaman di Jakarta.
Gubernur berikutnya, Sudiro, juga berasal dari suku Jawa dan memimpin Jakarta dari 1953 hingga 1960. Masa kepemimpinan Sudiro ditandai dengan peningkatan pembangunan infrastruktur dan perbaikan tata kota.
Dengan latar belakang militer, Sudiro menerapkan disiplin dan ketegasan dalam pemerintahannya. Pendekatan komunikasinya yang formal dan struktural mencerminkan budaya militer yang diembannya.
Sebagai seorang Jawa, Sudiro memanfaatkan nilai-nilai budaya Jawa yang mengedepankan harmoni dan kerukunan dalam menyelesaikan berbagai konflik sosial di ibu kota.
Periode Orde Baru membawa perubahan signifikan dalam konteks politik dan budaya di Jakarta. Ali Sadikin, seorang perwira tinggi Angkatan Laut dari suku Sunda, menjadi gubernur pada tahun 1966. Ali Sadikin adalah figur yang sangat berbeda dari pendahulunya.
Kepemimpinannya yang karismatik dan 'nyentrik' memperlihatkan keberanian dalam mengambil keputusan kontroversial, seperti melegalkan perjudian untuk meningkatkan pendapatan daerah.
Sebagai seorang Sunda, Ali Sadikin memperkenalkan gaya komunikasi yang lebih egaliter dan dekat dengan masyarakat, karakteristik budaya Sunda yang ramah dan terbuka.
Langkah-langkah progresifnya dalam pembangunan infrastruktur dan fasilitas publik menjadikan Jakarta lebih modern dan terorganisir.
Setelah Ali Sadikin, Jakarta dipimpin oleh Tjokropranolo (1977-1982) yang juga berasal dari suku Jawa. Tjokropranolo menghadapi tantangan yang berbeda, yakni menjaga stabilitas kota di tengah dinamika politik yang semakin kompleks.
Kepemimpinannya cenderung lebih konservatif dan berorientasi pada stabilitas, mencerminkan budaya Jawa yang menjunjung tinggi keharmonisan dan tata tertib.
Dalam konteks komunikasi politik, Tjokropranolo lebih memilih pendekatan yang berhati-hati dan penuh perhitungan, guna menghindari konflik yang bisa mengganggu stabilitas pemerintahan.
Memasuki peralihan dari Orde Baru ke era Reformasi, Jakarta mengalami perubahan signifikan dalam hal kepemimpinan dan pendekatan budaya komunikasi. Sutiyoso, yang menjabat sebagai gubernur dari tahun 1997 hingga 2007, adalah seorang militer dari suku Jawa.
Kepemimpinan Sutiyoso diwarnai dengan berbagai upaya untuk mengatasi masalah kemacetan dan banjir, serta memperbaiki pelayanan publik.
Sebagai seorang militer, pendekatan komunikasinya cenderung formal dan top-down, namun ia juga berusaha untuk lebih merangkul masyarakat melalui berbagai program pemberdayaan dan dialog publik.
Perubahan besar terjadi ketika Fauzi Bowo, yang akrab disapa Foke, menjadi gubernur pada tahun 2007. Foke adalah putra asli Betawi, suku asli yang mendiami Jakarta. Kepemimpinannya menandai kembalinya seorang Betawi memimpin ibu kota setelah sekian lama.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.