Oleh Trias Kuncahyono
Kami berdiri berdampingan. Diam. Diam di tengah begitu banyak orang. Dalam diam, kami membiarkan pikiran bebas mengembara. Menembus zaman.
Menembus zaman seperti tempat kami berada saat itu: Basilika Santo Petrus. Basilika yang menembus zaman: mulai dibangun tahun 1506 menggantikan gereja yang dibangun pada abad keempat; dan masih berdiri kokoh hingga saat ini. Berbagai peristiwa besar-kecil sepanjang zaman yang berbeda, dilaluinya, dilihat dan dirasakan.
Kami – Bre Redana, sahabat saya sejak masih aktif sebagai wartawan, yang cerpenis, serta novelis dan saya – masih berdiri diam. Orang yang berdiri di kiri-kanan kami, silih berganti. Ada yang berdoa. Ada yang berdiam diri. Bahkan, ada yang berlutut di lantai marmer.
Entah berapa banyak orang yang ada di dalam basilika, siang itu. Dari bahasa yang mereka gunakan saat saling bicara, kami tahu dari mana mereka berasal. Ada yang dari Filipina. Ada yang dari Jepang. Ada lagi yang dari Korea. Ada yang dari Jerman, Rusia, Perancis, Inggris, Mesir.
Baca Juga: Jokowi Lantik 12 Duta Besar LBBP, Ada Teuku Faizasyah hingga Trias Kuncahyono
Dan, ketika ada yang berbicara dalam bahasa Indonesia, tanpa janjian kami berdua bersama-sama, menoleh. Yang, kami lihat sejumlah orang Indonesia. “Hei…” Kami tersenyum.
***
Kembali kami memandang patung wujud Bunda Maria memangku jenazah putranya, Yesus yang baru saja diturunkan dari salib. “Itu patung karya Michelangelo, Pak Bre,” kataku padanya sambil menunjuk patung marmer putih di dalam ruangan di balik kaca di hadapan kami.
“Jadi ini patung Pietà yang kondang itu, ya Pak, ” katanya.
“Ya. Ini patung Madonna della Pietà atau lebih dikenal sebagai La Pietà, atau kalau kita biasa menyebutnya Pietà saja, Pak,” jawabku
Lalu, saya katakan, “Kisah tentang patung itu, panjang. Mungkin selama kita di sini dan bercerita tentang Pietà dan pematungnya, cerita itu belum selesai…” kataku mengawali obrolan kami tentang Pietà, Michelangelo, dan Renaisans, yakni zaman ketika patung itu dibuat oleh pematung, pelukis, dan penyair asal Florence atau Firenze kotanya Nicollo Machiavelli itu.
Baca Juga: "Vox Populi" dan "Vox Diaboli"
Kata Pietà berasal dari kata Italia yang berarti “kasihan” dan kata Latin yang berarti “kesalehan” juga “cinta kasih orang tua kepada putranya.”
Dalam kesedihan dan kehancurannya, Bunda Maria tampak pasrah dengan apa yang telah terjadi. Ia tetap tampak anggun, indah. Sekalipun dalam keadaan tragis.
Patung itu begitu indah. Hidup. Tapi, sekaligus menyayat hati. Betapa tidak menyayat hati. Memilukan. Puluhan tahun sebelumnya, Bunda Maria menggendong bayi Yesus tapi puluhan tahun kemudian, memangku jenazah Yesus yang penuh luka, sebelum dikafani dan dimakamkan.
Itulah pelukan terakhir kasihnya. Itulah kasih ibu. Kasih yang tak terhingga sepanjang masa. Kata Paus Fransiskus pada audiensi umum (2015), keibuan itu “lebih daripada sekedar melahirkan anak; itu adalah pilihan hidup, yang memerlukan pengorbanan,” hormat terhadap kehidupan, dan komitmen untuk meneruskan nilai-nilai kemanusiaan dan keagamaan yang sangat penting bagi masyarakat yang sehat.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.