Oleh: Trias Kuncahyono, Jurnalis dan Penulis Buku
KETIKA pada 2010, Qatar diputuskan sebagai negara penyelenggara Piala Dunia 2024, saat itulah sejarah baru ditulis.
Tidak hanya sejarah baru bagi Piala Dunia karena pertama kali digelar di negara Timur Tengah, tetapi juga bagi Timur Tengah sendiri, khususnya Qatar, yang tidak memiliki tradisi kuat dalam sepak bola, yang belum pernah lolos ke Piala Dunia.
Qatar menjadi negara Islam pertama, negara Arab pertama yang menjadi tuan rumah Piala Dunia.
Sejarah baru tidak berhenti sampai di sini. Tetapi ternyata, "beranak-pinak", melahirkan sejarah yang lebih baru lagi.
Di Qatar, juara dua kali Piala Dunia (1978 dan 1986) Argentina dikalahkan Arab Saudi; Jerman juara empat kali Piala Dunia (1954, 1974, 1990, dan 2014) lebih tragis dikalahkan Jepang dan Korsel.
Yang lebih spektakuler adalah keberhasilan Maroko. Di fase grup, Maroko menyisihkan Belgia di babak fase grup: 2-0. Lalu, Maroko menekuk salah raksasa bola Eropa, Spanyol, lewat adu penalti, 3-0.
Dengan kemenangan itu, Maroko menjadi negara Afrika pertama, setelah Ghana (2010), tembus perempat final.
Dan, yang tak kalah dahsyat lagi, Maroko menghancurkan impian tim bertabur bintang, Portugal, dengan skor 1-0.
Dengan itu, Maroko -- al-magrib, tempat matahari terbit-- mencetak sejarah gemilang: negara Afrika pertama tembus semifinal, negara Arab pertama masuk semifinal.
Kemenangan Maroko terutama atas Spanyol, negara tetangga beda benua yang dipisahkan Selat Gibraltal dan yang titik paling dekat berjarak delapan kilometer, memiliki nilai historis dan politis tinggi.
Keberhasilan Maroko menundukkan Spanyol lalu Portugal seperti telah mengajak orang untuk kembali membuka-buka lembaran sejarah lama, ketika wilayah Spanyol dan Portugal bernama Andalusia, al-Andalus.
Hal itu terjadi setelah penguasa Dinasti Almoravid atau al-Murabitun (1062-1150) --etnik Berber; Maroko sekarang ini beretnik Arab dan Berber-- kerajaan Islam yang berkuasa atas kawasan Afrika Utara menaklukkan Maroko dan menjadikan Marrakesh (1062) sebagai ibu kotanya.
Dari Maroko mereka melompati Selat Gibraltal dan menundukkan wilayah yang sekarang ini Spanyol dan Portugal.
Pada pertengahan abad ke-12, Dinasti Almoravid digantikan Dinasti Almohad atau al-Muwahhidun (1150-1269), dinasti Berber baru dari Afrika Utara.
Dinasti Almohad menjadikan Seville sebagai ibu kota mereka di al-Andalus. Tetapi, tetap mempertahankan Marrakesh sebagai pusat kekuasaan mereka di Afrika Utara.
Kekuasaan al-Andalus mulai pudar pada akhir abad ke-15. Setelah pada 1492, Raja Ferdinand II dari Aragon dan istrinya Ratu Isabella dari Castille menaklukkan Kerajaan Granada, menjadi awal berakhirnya kekuasaan Muslim di al-Andalus yang berlangsung 800 tahun.
Mereka lalu mengusir orang Arab, Berber, dan Yahudi dari Spanyol pada akhir abad tersebut (marocco world news, 19 Maret 2022).
Ingat akan catatan sejarah itu, maka setelah Maroko mengalahkan Spanyol, al-Monitor (10/12) menulis, ada yang membuat joke di Twitter dengan cuitan, "Spanyol harus mengganti namanya menjadi al-Andalus (Iberia)."
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.